Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rhenald Kasali
Guru Besar Manajemen

Akademisi dan praktisi bisnis yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sejumlah buku telah dituliskannya antara lain Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode Your Change DNA (2007), Disruptions, Tommorow Is Today, Self Disruption dan The Great Shifting. Atas buku-buku yang ditulisnya, Rhenald Kasali mendapat penghargaan Writer of The Year 2018 dari Ikapi

Holding BUMN Migas, Jangan Sampai Ketinggalan Kereta (Lagi)

Kompas.com - 31/12/2016, 06:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBambang Priyo Jatmiko

Statoil punya cadangan minyak di 14 negara. Petrobras beroperasi di 10 negara. PTT ada di delapan negara. Bahkan PetroVietnam asal Vietnam sudah beroperasi di empat negara. Pertamina?

Sampai saat ini baru di lima negara yang sudah benar-benar terbukti punya cadangan migas yang diharapkan. Jadi siapa yang tak cemas melihat Pertamina seakan-akan ketinggalan kereta. Kita butuh modal besar untuk membawa pulang energi itu dan mengamankan pasokan jauh ke depan.

Tanpa energi bukan cuma tak akan ada industri dan lapangan pekerjaan, melainkan juga kita tak bisa menyimpan vaksin karena lemari pendingin tak bisa bekerja. Dan mana bisa kita berkomunikasi kalau listriknya tak punya bahan bakar.

Untung belakangan, seiring dengan merosotnya harga minyak mentah di pasar dunia, Pertamina malah semakin agresif memburu minyak di luar wilayah Indonesia. Pada tahun 2015, misalnya, aset-aset Pertamina ada di tiga negara, yakni Aljazair, Malaysia dan Irak. 

Lalu sepanjang 2016, lokasi aset-aset baru Pertamina lebih bervariasi. Ada dua di Eropa, yakni Prancis dan Italia, dua di kawasan Amerika, yakni di Kanada dan Kolombia. Lalu, ada satu di Myanmar, dan empat lainnya di Afrika, yakni di Namibia, Tanzania, Nigeria dan Gabon. 

Saya senang dengan agresivitas Pertamina dalam dua tahun belakangan ini. Secara bisnis, langkah Pertamina sudah benar. Kita memang harus selalu bergerak di depan kurva, bukan di belakangnya. Ketika pasar melemah, kita masuk. Bukan sebaliknya, ketika pasar menguat baru masuk. Kalau itu yang kita lakukan, biayanya menjadi sangat mahal dan bisa ketinggalan kereta lagi.

Meski begitu semua upaya tersebut belum cukup. Dalam banyak kesempatan dan tulisan, saya selalu menyebutkan bahwa ukuran Pertamina masih terlalu kecil. Jangankan dibandingkan dengan International Oil Company (IOC), dengan sesama NOC di sebelah kita yang negaranya kecilpun Pertamina terbilang mini.

Mari kita bandingkan. Pendapatan Pertamina pada tahun lalu berkisar 41,76 miliar dollar AS. Mau tahu berapa pendapatan IOC? Royal Dutch Shell asal Belanda (bayangkan Belanda, negara yang luas wilayahnya masih kalah dibandingkan dengan Provinsi Jawa Timur, punya IOC sebesar itu) mencapai 272,16 miliar dollar AS atau 6,5 kali lipat lebih besar dibanding Pertamina.

Exxon Mobil dari Amerika Serikat pendapatannya 246,2 miliar dollar AS (hampir 6 kali lipat), BP asal Inggris 225,9 miliar dollar AS (hampir 5,4 kali lipat), atau Total SA dari Prancis 143,4 miliar dollar AS (hampir 3,5 kali lipat).

Pertamina terlihat lebih kecil lagi kalau dibandingkan dengan NOC dari China. Misalnya, dengan China National Petroleum yang pendapatannya hampir mencapai 300 miliar dollar AS (7,2 kali lipat lebih besar dibandingkan Pertamina), atau Sinopec 294,3 miliar dollar AS (7 kali lipat). Begitu juga jika dibandingkan dengan Petrobras, Petronas atau PTT, ukuran Pertamina tetap lebih kecil.      

Anda tahu, kalau ukuran perusahaan kita terlalu kecil, ke mana-mana geraknya serba terbatas. Mau berkongsi dengan perusahaan lain—apalagi sekelas multinasional, dipandang sebelah mata. Mau cari pinjaman ke luar negeri, dapatnya juga tak seberapa.

Efek Sinergi

Maka, diholdingkan dua BUMN migas, yakni Pertamina dan Perusahaan Gas Negara (PGN) menjadi solusi agar kita memiliki NOC yang ukurannya lumayan besar. Pendapatan Pertamina, itu tadi, 41,76 miliar miliar dollar AS,  sementara PGN 3,07 miliar dollar AS. Jika digabung seolah-olah “hanya” menjadi 44,83 miliar dollar AS. Masih kalah dibandingkan dengan Petrobras (97,31 miliar dollar AS), Petronas (63,5 miliar dollar AS) atau PTT (59,2 miliar dollar AS).

Tapi, ingat bahwa pembentukan holding company akan menciptakan sinergi. Kalau bicara sinergi, 1 + 1 tidak sama dengan 2, tetapi bisa 10 atau bahkan 100. Dari mana saja datangnya sinergi?

Menurut saya, setidak-tidaknya bakal ada lima area yang terbuka peluangnya untuk sinergi. Lima area itu meliputi konsolidasi pembangunan infrastruktur LNG dan mini LNG, fasilitas regasifikasi, pembangunan pipanisasi, jaringan distribusi serta biaya pengadaan barang dan jasa.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com