Pasalnya, Kodaklah yang pertama kali menemukan cara untuk memindahkan foto ke dunia digital. Dan hal ini tentu tak disukai oleh para eksekutif di Kodak yang produk lamanya terancam. Alih-alih bersatu untuk melawan Fujifilm (Jepang), mereka malah berkelahi di antara mereka melawan saudara sendiri. Yaitu yang inovatif dan brilliant.
Clayton Christensen perumus teori Disruptionsampai mengajukan pertanyaan ini: Apa jadinya jika Anda menjadi competitor bagi diri Anda sendiri?
Di situlah pergumulan itu terjadi. Ya batiniah, ya fisik. Dan sekarang saat perekonomian dunia dikepung gejala disruptions, kita menyaksikan pergumulan internal di hampir semua kategori industri, dari pariwisata sampai ke jasa keuangan. Dari birokrasi sampai ke pangan dan telekomunikasi. Sementara para ahli terlalu asyik dengan peta makro yang tak banyak bercerita tentang realitas.
Alih-alih menghadapi Trump yang akan mengusir TKI di sana, kita justru memilih bertarung melawan putra-putri terbaik dengan begitu kejam dan suara lantang.
Bayangkan seperti apa jadinya bila hal itu dialami Indonesia, ditengah-tengah kancah politik pilkada. Antara perubahan yang dituntut masyarakat dengan permainan para elit yang mengincar “uang” besar anggaran pembangunan, dan orang-orang yang menjajakan kemiskinan sebagai alat kampanye. Itu terjadi di tengah-tengah spirit keberagaman yang tiba-tiba runtuh. Menjadi pergumulan semua orang.
Disrupsi, Desepsi
Dunia ini tengah bergumul untuk membentuk kembali dirinya. Dari proses digitalisasi, manusia kerap menyangkalnya saat menyaksikan realita baru. Tak ada yang menyangka orang yang dipuja terlibat perselingkuhan uang. Kita hanya bisa kaget saat membaca nama-nama mereka ada di Panama Papers, misalnya.
Karena disangkal, masuklah kita ke tahap desepsi, sehingga terjadilah disruptions. Setelah itu terjadilah dematerialisasi, demonetisasi dan demokratisasi. Putaran perubahan menjadi lebih cepat, tak terwujud, sangat murah dan menjadi guyonan sehari-hari.
Kata kunci dari semua itu adalah respons. Politik memang busuk, tetapi pelayanan bukan soal rivalitas. Ini soal kewajiban. Indonesia membutuhkan disruptive leader dengan manusia-manusia yang bisa membebaskan diri dari waktu dan tempat.
Seperti yang dituntut Walikota Bandung pada Aparatur Sipil Negara jajarannya, yaitu kewajiban menggunakan social media untuk berkomunikasi dengan publik, mengatasi masalah dan men-deliver pelayanan 24 jam sehari, 7 hari seminggu.
Ini tentu berbeda dengan generasi tua yang justru merasa terancam dengan social media, yang beranggapan social media hanyalah alat entertainment pribadi.
Pergumulan Kehidupan Sosial
Tentu saja tidak sulit untuk menyatakan bahwa Indonesia di tahun 2017 juga akan mengalami “tahun pergumulan” yang kompleks akibat belum tertatanya aturan dan perilaku baru, tata hukum, dan standar moral. Benturan antara demokrasi, politik dan ekonomi, termasuk manipulasi pikiran.
Ini bukan soal ramal-meramal, apalagi mengaitkannya dengan “tahun ayam,” yang bisa kita pelesetkan menjadi ayam aduan yang mengakibatkan jago bertemu jago sampai mati. Bukan itu.
Tetapi intinya adalah Indonesia tengah memasuki peradaban digital yang intensif dalam percaturan ekonomi, bisnis, politik, sosial dan budaya yang sangat intens. Dan inilah tahun pergumulan batin bagi kita semua. Pergumulan disruptions akan kita alami di tahun 2017 ini, saat perusahaan-perusahaan besar berguguran, sementara mereka yang kecil, justru mulai mendunia.
Inilah kekuatan disruption yang dicita-citakan kaum muda namun telah disalahgunakan kekuatan-kekuatan baru. Selamat berdamai dengan pikiran masing-masing.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.