KOMPAS.com - Tahun 2016 banyak menorehkan peristiwa penting dari sisi politik dan ekonomi, termasuk juga isyu terkait keuangan keluarga yang akan dibahas dalam artikel ini.
Keadaan ekonomi Indonesia pada awalnya diprediksi cenderung melemah tahun 2016, melanjutkan ritme 2015, namun ternyata di pertengahan 2016 rupiah terapresiasi dibanding mata uang dunia seperti poundstering dan dollar AS.
Pada akhir September 2016, nilai jual rupiah sempat menyentuh Rp 12,900 per dollar AS dari nilai jual bulan Januari senilai Rp 14.000 per dollar AS.
Salah satu pemicu adalah event politik dan ekonomi luar negeri, diantaranya menangnya Brexit (Britain Exit) dalam referendum rakyat Inggris untuk keluar atau tetap dalam Uni Eropa pada tanggal 23 Juni 2016.
Selain itu juga kebijakan Federal Reserve yang menunda kenaikan suku bunganya, meski pada akhir tahun the Fed telah merubah posisi ini.
Dari ranah politik dan ekonomi dalam negeri, Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan juga memproyeksikan adanya kestabilan, baik nilai tukar Rupiah maupun sisi fiskal, termasuk susksesnya kebijakan tax amnesty dan meningkatnya kepercayaan investor terhadap ekonomi nasional.
Bagi keluarga Indonesia yang melihat dari sisi konsumsi merasa diuntungkan dengan menguatnya rupiah karena daya beli sedikit meningkat, baik konsumsi (barang impor) di dalam negeri maupun biaya perjalanan ke luar negeri.
Menurut Prana Tadjuddin, Direktur Tazkia Travel yang menjual paket umrah mulai sebesar 1.975 dollar AS ini, jumlah jamaah umrah Tazkia pada tahun 2016 mencapai hampir 3.000 orang. Jumlah jamaah haji meningkat dari 189 orang pada tahun 2015 menjadi 219 orang pada tahun 2016.
Ini baru contoh kecil dari peningkatan drastis kemampuan masyarakat untuk bepergian ke luar negeri, baik untuk ziarah atau liburan.
Konsumsi Kebutuhan Pokok
Untuk konsumsi kebutuhan pokok, harusnya tren yang sama juga terjadi. Untuk menelusurinya, mari kita lihat bagaimana hubungan nilai rupiah yang menguat di pertengahan tahun 2016 dengan kemampuan membeli barang di dalam negeri, terutama Sembilan Bahan Pokok (Sembako). Apakah pendapatan yang ada dengan nilai rupiah yang lebih kuat dapat membeli lebih banyak sembako?
Ternyata, dari data yang terkumpul, nilai rupiah yang menguat, tidak (belum) menjadikan keluarga Indonesia lebih sejahtera. Peningkatan daya beli ternyata malah sedikit memicu laju inflasi, sehingga jadi sama saja hasilnya.
Bahkan bisa dikatakan kekuatan belanja masyarakat jadi relatif menurun. Sehingga daya beli yang lebih tinggi tidak berdampak apa-apa. Menurut data Bank Indonesia, tingkat inflasi per November 2016 adalah 3,58 persen dan masih di bawah batas sasaran Bank Indonesia yaitu 4 persen.
Walau masih di bawah target, mengapa banyak berita mengungkapkan tentang harga sembako naik?
Misalnya harga sembako naik akibat cuaca dan persiapan Ramadhan dan Lebaran. Dulu bawa uang ke pasar Babakan Madang Rp 100.000, bisa dapat dua kantong plastik belanja, sekarang cuma dapat satu kantong.
Rupiah memang menguat, tapi kami tidak merasakan dampak dari segi kekuatan belanja. Pedagang enggan menurunkan harga barang yang sudah dinaikkan sebelumnya.
Sebagai pembuka tahun 2017, Sakinah Finance melakukan riset kecil mengenai harga Sembako di beberapa negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Kanada, Inggris, dan Saudi Arabia.
Perbandingan ini ditujukan untuk melihat daya beli keluarga Indonesia dengan pendapatan yang dimiliki. Meski ada ketidaksesuaian dari sisi skala dan jenis, survei ini memiliki deviasi sekitar 20 persen.
Sakinah Finance berterima kasih kepada para kontributor info harga yaitu Rosadi dan Dewi (Bogor), Mimi dan Anda (Kuala Lumpur), Cicik dan Ria (Toronto), Siska dan Desy (Glasgow), serta Aisyah dan Deliana (Mekkah dan Jeddah).
Harga dicek juga di beberapa pasar dan swalayan pusat statistik di negara–negara terkait dengan pilihan harga standar murah dan kurs tukar akhir Desember 2016.
(Harga dalam rupiah)
Dari tabel dapat dilihat bahwa harga sembako di Malaysia ternyata yang paling rendah dari semua sampel, sementara Kanada yang paling tinggi.
Kalau kita analisa, konsumsi per orang dalam satu hari berdasarkan standar Kementerian Kesehatan RI untuk GGL dan standar kontributor riset ini, seseorang memerlukan beras setengah kilo, gula pasir 50 gram, sayur-sayuran 500 gram, ayam 250 gram, minyak goreng 50 ml, susu 200 ml, telur sebutir, gas atau listrik untuk masak perhari pemakaian, dan garam 5 gram.
Total Sembako yang dikonsumsi perhari adalah (mulai dari paling rendah hingga paling tinggi), sebesar Rp. 21.428 (Malaysia), Rp. 27.250 (Indonesia), Rp. 28.625 (Inggris), Rp. 31.534 (Arab Saudi), dan Rp. 47.872 (Kanada).
Dari survei sederhana ini kita melihat bahwa beban belanja keluarga Indonesia cukup berat. Dengan Upah Minimum Regional (UMR) setengah dari Malaysia, keluarga Indonesia harus bertahan hidup dengan harga sembako yang lebih tinggi dibanding warga Malaysia.
Mirisnya, dengan pendapatan UMR sepersepuluh dari Inggris, keluarga Indonesia juga terpaksa membayar harga Sembako hampir sama dengan warga Inggris. Untungnya harga sewa tempat tinggal menyeimbangi yang relatif jauh lebih murah di Indonesia dibanding di Inggris.
Lantas berapa tingkat UMR yang kita harus miliki? Atau berapa harga Sembako yang harus kita turunkan? Jawabannya adalah keduanya tapi faktor harga Sembako yang seharusnya makin dapat dikendalikan dibanding pendapatan karena setiap instansi rata–rata sudah mengacu kepada UMR dengan kenaikan berkala per tahun.
Siapa pengendali harga?
Setiap negara punya kementerian atau tim khusus untuk mengontrol harga pasar. Di Indonesia ada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang merujuk kepada Undang–Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan Presiden RI No. 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, dan peraturan lainnya.
Seperti di Malaysia, pengawasan harga barang berada di bawah Kementerian Perdagangan Dalam Negeri, Koperasi dan Kepenggunaan yang menggunakan Undang-Undang Control of Supplies Act 1961.
Di Inggris, pengawasan harga dilakukan oleh Trade Ministry yang mempunyai agen khusus, merujuk kepada peraturan The Supply of Goods & Services Act 1982 yang sekarang digantikan oleh Consumer Rights Act 2015.
Banyak berita yang memuat tentang kegiatan pengawasan pasar–pasar di Indonesia, jadi semestinya sistem yang sudah ada ini harus terus diterapkan dan ditingkatkan dari waktu ke waktu.
Demikian juga sanksi hukum harus dijalankan lebih tegas lagi, fasilitas petani, peternak dan pedagang pasar harus diperbaiki demikian juga antisipasi iklim dan bencana alam.
Jika dikaitkan dengan pendekatan ekonomi Islam, ternyata aspek pengawasan ini sudah disentuh karena kecurangan senantiasa ada di pasar–pasar.
Sebagaimana dalam sejarah, ketika pada masa Rasulullah SAW banyak kejadian pasar yang tidak jujur maka turunlah ayat khusus untuk orang–orang yang curang:
“Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupi dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain) mereka mengurangi” (QS Al-Muthaffifin (83): 1-3).
Dicontohkan juga di masa Umar bin Khattab r.a., ketika beliau sendiri turun ke pasar serta menunjuk Syifa binti Abdullah untuk menjadi pengawas pasar (qadhi) karena ada masalah monopoli harga, penjualan susu dicampur air dan lain sebagainya (Kitab Al-Bidayah Wan Nihayah).
Menyambut tahun 2017
Wakil Presiden Jusuf Kalla pada tanggal 26 Desember 2016 menyebutkan bahwa wajar jika harga barang Sembako naik menjelang hari–hari besar seperti Hari Natal dan Tahun Baru. Argumennya, karena saat inilah ‘pedagang menikmati keuntungan, nanti dengan sendirinya harga akan turun kembali’.
Dengan pemerintahan saat ini dan kedepannya, kita tentu saja berharap bahwa harga sebaiknya terkontrol baik ketika masa perayaan atau hari biasa.
Perayaan Natal di Inggris misalnya, lebih marak dibandingkan di Indonesia, tetapi harga kebutuhan pokok tetap stabil.
Selain pengawasan harga yang lebih baik, kita juga berharap di tahun 2017 tingkat kemiskinan dan pengangguran dapat turun, pendidikan makin bersemangat, lapangan kerja dan berwirausaha makin luas dengan etos kerja tinggi, kesadaran untuk bersyariah makin baik termasuk meramaikan keuangan syariah, mengeluarkan pajak, zakat dan shadaqah, kesadaran hukum makin baik yang akhirnya tingkat korupsi dan kriminal menurun.
Keluarga Indonesia juga harus ikut andil dalam menggunakan produk dalam negeri lebih banyak lagi dan berangsur meninggalkan konsumsi barang impor, sehingga dapat menguatkan ekonomi nasional, membantu Indonesia bebas hutang dan akhirnya akan menyumbangkan kesejahteraan bagi Indonesia.
Sakinah Finance
Berkenaan dengan aktivitas Sakinah Finance sepanjang tahun 2016, ada 33 artikel yang diterbitkan dimedia–media rekanan serta ada 16 talkshow dan pelatihan yang diadakan di enam negara. Artikel yang paling banyak menarik perhatian pembaca adalah masalah fatwa keuangan syariah, bersyukur dalam konteks keuangan keluarga, bisnis warteg, dan hukum waris Islami.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.