Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Daya Beli Masyarakat Turun, Haruskah Berarti Tutup Usaha?

Kompas.com - 06/01/2017, 08:27 WIB
Anne Anggraeni Fathana

Penulis


KOMPAS.com
– Penurunan daya beli masyarakat jelas dapat berimbas pada merosotnya keuntungan usaha. Beberapa perusahan besar bahkan ada yang menutup aktivitas usaha mereka di Indonesia. Haruskah selalu begitu?

Merosotnya penjualan sebagai penyebab penutupan usaha, salah satunya diakui PT Ford Motor Indonesia (FMI). Perusahaan otomotif asal Amerika Serikat itu mengaku pasar Indonesia tak lagi mendatangkan untung.

“Setelah mempelajari secara seksama setiap opsi yang memungkinkan, jelas bagi kami bahwa tidak ada jalur menuju keuntungan yang berkesinambungan untuk kami di Indonesia," tulis keterangan FMI di situs web-nya yang dilansir Senin (25/1/2016).

Dari kondisi itu, FMI memutuskan menghentikan seluruh operasi di Indonesia sebelum akhir 2016. "(Untuk kemudian kami) mengkonsentrasikan sumber daya yang ada di tempat lain," lanjut keterangan tersebut.

Merujuk data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan Ford menurun sejak 2011. Angka penjualan pada 2015 bahkan anjlok 58,48 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Pada 2015, total penjualan Ford di Indonesia hanya 4.986 mobil. Padahal, angka penjualan mereka pada 2014 masih menembus angka 12.008 unit.

Meraba 2017

Penurunan penjualan sebenarnya tak hanya dialami Ford. Angka penjualan produk eceran di Indonesia memperlihatkan tren penurunan, setidaknya merujuk data Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dilansir Bank Indonesia (BI).

Hasil survei yang dirilis pada Desember 2016, misalnya, mendapati Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Oktober 2016 merosot dibandingkan September 2016, yaitu menjadi 7,6 persen dari sebulan sebelumnya 10,7 persen. Indeks tersebut mengukur pertumbuhan penjualan eceran di masyarakat.

Lalu, bagaimana dengan 2017?

Kondisi di atas diduga masih akan terus berlangsung. Ekonomi global yang masih bergerak lambat ditambah beragam dinamika internasional yang berimbas ke perekonomian, menjadi landasan proyeksi.

THINKSTOCK.COM Daya beli masyarakat menurun

"Beberapa studi menunjukkan kita sedang masuk fase kedua dampak pelemahan harga komoditas, yaitu persoalan melemahnya daya beli masyarakat," ucap Firmanzah, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), seperti dikutip Kompas.com, Selasa (21/6/2016).

Penurunan daya beli juga rentan terjadi dari tren angka inflasi yang kembali merangkak naik menjelang akhir tahun. Merujuk data BI per akhir November 2016, inflasi tahunan berada di level 3,58 persen, setelah pada Agustus 2016 sempat bertengger di level 2,79 persen.

Badan Pusat Statistik Perbandingan Indeks Harga Konsumen (IHK) dan inflasi antara 2015 dan 2016
Badan Pusat Statistik mencatat pula lonjakan inflasi bulanan dari Indeks Harga Konsumen (IHK) pada 2016. Di luar "jadwal" kenaikan harga yang jamak terjadi menjelang Ramadhan dan Lebaran, inflasi pada tahun ini memperlihatkan tren lebih tinggi dibandingkan pada 2015.

IHK memantau pergerakan harga sekeranjang barang dan jasa yang dinilai sebagai kebutuhan utama masyarakat.

Dana Moneter Internasional (IMF) pun memperkirakan laju inflasi Indonesia pada 2017 akan naik lagi dibandingkan pada 2016, menjadi 4,2 persen. Angka ini merupakan yang tertinggi untuk kawasan Asia Tenggara.

Sebelumnya, IMF dalam World Economic Outlook yang dilansir pada Oktober 2016 tersebut memperkirakan inflasi Indonesia sampai akhir tahun ini akan berada di level 3,7 persen.

Inflasi merupakan indikator yang salah satunya memperlihatkan fluktuasi harga barang dan jasa di masyarakat. Angka inflasi naik dapat berarti harga barang dan jasa lebih mahal, yang itu bisa berimbas pada berkurangnya kemampuan masyarakat mendapatkan barang dan jasa tersebut.

Tantangan strategi

Menyambut 2017, antisipasi atas beragam proyeksi yang dapat menjadi ancaman kerugian bisnis sebaiknya sudah dilakukan oleh perusahaan dari sekarang. Sejumlah strategi mesti dijalankan sesegera mungkin, daripada buru-buru memutuskan menutup usaha.

Terlebih lagi, IMF juga memberikan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 akan lebih baik dibandingkan tahun ini. "Diharapkan tumbuh 5,1 persen," sebut IMF dalam paparan yang dilansir pada 24 November 2016.

Selagi peluang masih ada—beriringan dengan tantangan yang juga tak ringan—langkah-langkah seperti penghematan layak dipertimbangkan. Ambil contoh, kantor pusat Toyota di Jepang.

Perusahaan itu sekarang mematikan fungsi dua dari delapan lift serta menyesuaikan ulang alat pengatur suhu (AC) di gedung perkantorannya. Meski terlihat sepele, langkah ini memangkas sejumlah biaya operasional yang menjadi beban perusahaan.

Toyota, seperti dikutip BBC pada Jumat (8/7/2016), menyebut langkah itu sebagai bagian dari komitmen untuk meningkatkan daya saing. "(Dengan) mengurangi pemborosan," sebut pernyataan dari perusahaan itu.

Scott Brownlee, general manager untuk hubungan media dan media sosial Toyota di Inggris, menambahkan bahwa filosofi perusahaannya adalah mengidentifikasi dan membuat keuntungan, sekecil apa pun itu tampaknya.

"Maksudnya, penghematan atau keuntungan kecil—tidak peduli seberapa kecil dibandingkan keseluruhan nilai operasional—pada akhirnya akan berkontribusi terhadap total keuntungan perusahaan," ujar Brownlee, seperti dikutip Independent, pada hari yang sama.

Strategi serupa dipraktikkan juga oleh perusahaan nasional. PT Antam (Persero) Tbk, misalnya.

THINKSTOCK.COM Ilustrasi efisiensi perusahaan

Di tengah keterpurukan harga komoditas global, perusahaan ini menggiatkan efisiensi demi mempertahankan daya saing. Efisiensi antara lain dijalankan dengan mengubah jenis dan model pembelian bahan bakar untuk kegiatan produksi dan pengolahannya.

Saat ini, Antam lebih banyak menggunakan Marine Fuel Oil (MFO) yang harganya relatif lebih murah dibandingkan solar industri. Adapun pembeliannya diubah menggunakan sistem Vendor Held Stock.

Memakai sistem pembelian itu, tangki penampungan bahan bakar Antam akan diisi penuh terlebih dahulu oleh vendor, tetapi pembayaran dilakukan sesudah dan sesuai pemakaian. Skema ini mengizinkan perusahaan pelat merah tersebut terus berproduksi tanpa beban biaya di muka.

Efisiensi juga didorong Antam dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berkapasitas 2x30 Megawatt di Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Listrik yang dihasilkan PLTU ini akan dipakai untuk memenuhi kebutuhan energi dalam kegiatan produksi feronikel—bahan dasar stainless steel—di pabrik setempat.

Perusahaan ini melakukan pula perbaikan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) miliknya agar proses produksi bisa menggunakan dual fuel yakni marine oil dan gas.

Hasil dari sejumlah langkah efisiensi tersebut, perusahaan pelat merah tersebut bisa menghemat biaya operasional sampai Rp 23,1 miliar per kuartal III/2016.

Selain efisiensi, Antam juga melakukan sejumlah inovasi lain sebagai strategi perusahaan. Untuk pemasaran feronikel, misalnya, Antam mengubah fokus pasar, dari semula ke Eropa dan Amerika Serikat menjadi ke China.

"Karena Tiongkok terbilang dekat, biaya ekspedisi menjadi lebih murah dan perputaran uang Antam lebih cepat," tutur Direktur Keuangan Antam Dimas Wikan Pramudhito seperti dikutip Kompas.com, Kamis (15/12/2016).

Pembayaran untuk penjualan feronikel ke China, lanjut Dimas, akan diterima Antam dalam kurun 30 hari. Adapun pengiriman komoditas itu ke Eropa baru akan mendapatkan pembayaran setelah 90 hari.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO Ilustrasi

Inovasi juga dilakukan untuk produk utama Antam, yaitu emas batangan. Perseroan ini mencoba meningkatkan performa penjualan komoditas ini dengan membuat kreasi desain emas.

Saat ini, masyarakat dapat membeli emas batangan dengan motif batik. Antam juga berencana merancang emas batangan yang menyematkan batu mulia seperti permata.

Semua upaya efisiensi dan inovasi Antam pun sudah memperlihatkan hasil nyata. Hingga akhir kuartal III/2016, perusahaan ini telah mencatatkan laba Rp 38,3 miliar, setelah sebelumnya sempat dirundung kerugian setidaknya hingga akhir 2015.

Nah, ketidakpastian kondisi perekonomian yang berdampak ke daya beli konsumen tak selalu berarti usaha harus menutup unit usaha apalagi gulung tikar, bukan? Keuntungan juga tetap mungkin didapat, sekalipun tantangan kondisinya tak mudah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com