Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Begini Memahami "Gross Split" Pengganti "Cost Recovery" Migas

Kompas.com - 20/01/2017, 19:54 WIB
Iwan Supriyatna

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengibaratkan skema bagi hasil atau Production Sharing Cost (PSC) cost recovery seperti pemilik lahan sawah dan orang lain sebagai penggarap.

(Baca: Rezim "Cost Recovery" Berakhir, Selamat Datang Skema "Gross Split")

Pemilik lahan sawah adalah pemerintah, sementara penggarap yang diminta menggarap lahan milik pemerintah adalah perusahaan migas atau kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

"Misal pemerintah punya sawah tapi yang garap orang lain, orang lain itu adalah KKKS," ujar Arcandra di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (20/1/2017).

Sewaktu penggarap menggarap sawah yang diperintahkan pemilik, didapati hasil kotornya adalah 10 karung. Jika menggunakan skema PSC cost recovery, semua biaya operasi beli bibit, perawatan, usir burung, hitung habis biayanya lima karung, dan sisanya tinggal lima karung.

Dari lima karung yang tersisa itu, jika PSC cost recovery ada perjanjian antara pemilik dengan pekerjanya itu 85 persen dari 5 karung milik pemilik sawah, maka KKKS mendapati 15 persen dari 5 karung dari pemilik lahan.

Dari contoh itu maka dapat disimpulkan pembagian hasil PSC cost recovery 85 persen itu dari produksi dikurangi biaya operasi. Jadi bisa dibayangkan berapa besar porsi negara dibandingkan KKKS menggunakan skema cost recovery.

Jika diperdebatkan, hal ini tidak akan pernah ada ujungnnya. Oleh karenannya, pemerintah akhirnya memutuskan mengubah skema PSC menjadi gross split. Di mana, pembagian migas, 57 persen untuk negara dan 43 persen untuk kontraktor, sementara pembagian untuk gas bumi 52 persen ke negara, 48 persen untuk kontraktor.

"Jadi kalau hasil 10 karung, mau si pekerja sawahnya (KKKS) pakai pupuk apa, bibit seperti apa, pokoknya dari 10 karung hasilnya, ya 5 karung negara, 5 lagi kontraktor dengan catatan semua cost ditanggung sendiri. Mau cost 8 karung pokoknya 5 karung negara, mau cost-nya lebih rendah tiga karung misalnya, tetap negara 5 karung," pungkasnya.

Di sinilah, kata Arcandra, perubahan skema bagi produksi tidak mempengaruhi negara dan sama sekali tidak merugikan negara. Karena apapun cost-nya semua ditanggung KKKS.

Di samping itu, ada hal lain yang menjadi perhitungan mantan Menteri ESDM 20 hari itu, yakni menyangkut behaviour atau perilaku KKKS.

Kata Arcandra, ada kecenderungan biaya yang dikeluarkan KKKS bakal lebih sedikit jika mereka menggunakan biaya dari kantong sendiri.

"Ada lagi (pertimbangan lainnya) behaviour. Kecenderungan orang itu, mereka akan berusaha mengeluarkan cost sehemat mungkin kalau bayar sendiri," tukasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com