Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Berly Martawardaya
Dosen

Dosen Magister Kebijakan & Perencanaan Kebijakan Publik (MPKP) di FEB-UI, Ekonom INDEF dan Ketua PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)

Tegangnya Relaksasi Ekspor Mineral

Kompas.com - 24/01/2017, 19:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Pengolahan di definisikan sebagai upaya untuk meningkatkan mutu mineral yang menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang tidak berubah dari mineral asal.

Pasal 5 pada Permen ESDM no 6/2017 menyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK bisa mendapatkan rekomendasi ekspor setelah memenuhi berbagai syarat termasuk rencana pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri serta laporan kemajuan fisik yang telah atau sedang melaksanakan pembangunan fasilitas pemurnian yang telah diverifikasi oleh verifikator independen.

Argumen paket kebijakan relaksasi ekspor mineral adalah meningkatkan pendapatan Negara dan mendorong pertumbuhan perekonomian dengan membuka pintu ekspor mineral hasil pengolahan yang belum dimurnikan sampai 2022.

Kebijakan ini tidak sejalan dengan semangat pasal 103 dan 170 di UU Minerba yang kedudukannya lebih tinggi dan menetapkan tahun 2014 sebagai deadline.

Perbedaan ini yang mendorong Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi SDA mengajukan tuntutan pembatalan paket regulasi relaksasi ekspor mineral melalui uji materiil ke Mahkamah Agung (MA)

Repotnya Mengurus Freeport

Keluarnya Paket kebijakan relaksasi ekspor mineral tidak bisa dilepaskan dari kondisi PT Freeport Indoensia (PTFI) yang sudah berjalan sejak 1967 dan belum  memiliki smelter yang operasional.

Freeport melaporkan bahwa perusahaannya memiliki pegawai sejumlah 30 ribu orang dimana 97 % adalah orang Indonesia.  Sehingga bila berasumsi tiap pegawai memiliki suami/istri serta dua anak berarti PTFI menjadi sumber pendapatan pada lebih dari 116 ribu orang.

Sepanjang 1992-2015 PTFI berkontribusi US$ 16,1 miliar terhadap penerimaan negara sementara kontribusi berupa keuntungan tidak langsung berjumlah 32,5 miliar dolar AS.

PTFI menghasilkan 1,7 % penerimaan APBN, 37,5 % PDRB Provinsi Papua dan 91 % PDRB Kabupaten Mimika yang akan terganggu bila PTFI  operasionalnya berhenti.

PTFI dan pemerintah menghadapi dilema dimana PFTI tidak mau membangun smelter yang sangat mahal sampai mendapat kepastian kontraknya diperpanjang dan pemerintah tidak mau memperpanjang kontrak kalau smelter belum dibangun.

PP 1/2017 juga merubah batas pengajuan yang tadinya paling cepat dua tahun sebelum berakhirnya ijin operasi menjadi 5 tahun sehingga pengajuan perpanjangan PTFI tidak harus menunggu tahun 2019.  

PTFI berperan besar bagi Indonesia secara historis, finansial dan simbolis. Maka sebaiknya pemerintah melakukan studi komprehensif dan redundant dengan meminta beberapa Universitas dan think thank ternama untuk melakukan Cost Benefit Analysis (CBA) apakah lebih tinggi net benefitnya bagi rakyat Indonesia bila kontrak diperpanjang atau tidak.

Keputusan sebesar ini juga membutuhkan mandat politik yang kuat. Maka perlu dipertimbangkan untuk menunda keputusan diperpanjang atau tidaknya PTFI sampai Presiden dan Kabinet baru dilantik pada tahun 2019.

Adapun tiap capres pada masa kampanye harus memaparkan sikapnya apakah setuju  atau tidak dengan membuka detil argument dan kalkulasinya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com