Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Ironi Negeri Agraris dan Upaya Mereduksi Risiko Kredit Pangan

Kompas.com - 30/01/2017, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBambang Priyo Jatmiko

Sektor pertanian di Tanah Air merupakan ironi. Sejak ratusan tahun lalu, Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki lahan yang luas, subur, dan mayoritas masyarakatnya hidup sebagai petani. Pendek kata, Indonesia memiliki seluruh modal untuk menjadi produsen produk-produk pertanian terbesar di dunia, bahkan menjadi lumbung pangan global.

Namun faktanya, jangankan menjadi lumbung pangan dunia, untuk memenuhi kebutuhan pangan  rakyat Indonesia sendiri saja masih sulit. Hingga kini, sejumlah komoditas strategis seperti jagung, gula, kedelai, daging sapi masih harus diimpor untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.

Sektor pertanian juga belum bisa diandalkan sebagai pendorong utama pertumbuhan Indonesia. Bahkan selama periode 2010 – 2015, pertumbuhan sektor pertanian cenderung melambat.

Dampaknya, kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus menurun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi sektor pertanian hanya sebesar Rp 1.186 triliun atau 10,28 persen PDB pada 2015.

Barulah pada 2016, sektor pertanian tumbuh lebih cepat dibandingkan tahun sebelumnya. Produksi padi pada 2016 mencapai 79,1 juta ton, meningkat dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 75,4 juta ton.

Jagung juga meningkat dari 19,6 juta ton pada 2015 menjadi 23,2 juta ton pada 2016. Sayangnya, kedelai masih turun dari 0,96 juta ton pada 2015 menjadi 0,89 juta ton pada 2016.

Meskipun membaik pada 2016, sektor pertanian masih jauh di bawah harapan. Berbagai persoalan struktural dan sistemik masih membayangi sektor pertanian.

Posisi tawar petani tetap rendah sehingga harga produk pertanian yang dinikmati petani tak pernah bisa menyejahterakan petani dan keluarganya. Sebagian besar petani, yang jumlahnya mencapai 36 juta, akhirnya hidup miskin.

Persoalan krusial lainnya adalah minimnya modal petani. Ini membuat petani sulit mengembangkan usahanya. Kondisi ini terjadi karena rendahnya akses petani ke perbankan atau lembaga keuangan formal lainnya.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, kredit perbankan ke sektor pangan per November 2016 sebesar Rp 638,4 triliun atau hanya 14,8 persen dari total kredit perbankan yang mencapai Rp 4.285 triliun. Kredit tersebut tentu belum memadai dibandingkan besarnya kegiatan pertanian di Indonesia.

Sumber: OJK Perkembangan kredit pangan

Halaman:


28th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com