Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pandu Aditya Kristy
Pegiat Fintech

Anggota Asosiasi FinTech Indonesia dan Chief Operating Officer PT Sampoerna Wirausaha (Mekar)

"FinTech" di Indonesia: Antara Fragmentasi vs Inklusi Keuangan

Kompas.com - 07/02/2017, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAprillia Ika

Coba bayangkan; Anda membeli mie instan di warung kecil di perkampungan terpencil. Pemilik warung mengeluarkan smartphone murah miliknya, lalu Anda menempelkan jari di layar smartphone tersebut untuk menyetujui pembayaran. Seketika, saldo rekening bank Anda berpindah ke rekening pemilik warung sesuai harga mie.

Inilah fintech. Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah fintech bukan hanya tentang kecanggihan teknologi, namun juga tentang inklusi keuangan. Apa yang kita bayangkan di atas telah berjalan di India.

Per Desember 2016, pemerintah India lewat proyek ambisiusnya “Aadhaar”, telah berhasil meregistrasi 1,09 miliar penduduknya atau sekitar 85 persen populasi India. Aadhaar adalah nomor identitas tunggal mengandung data biometrik dan demografis penduduk yang tersimpan dalam database terpusat dan terhubung secara online.

Aadhaar terkoneksi dengan berbagai stakeholder, baik instansi pemerintah maupun swasta sehingga berbagai transaksi keuangan masyarakat dan program pemerintah berjalan mudah, cepat, dan aman lewat “cap jempol”.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut DailySocial dan Asosiasi FinTech Indonesia, jumlah perusahaan fintech Indonesia tumbuh 78 persen sepanjang 2015-2016. Diperkirakan saat ini terdapat 140 perusahaan fintech di Indonesia.

Namun demikian, fintech di Indonesia seringkali hanya menghasilkan fragmentasi, bukannya inklusi keuangan. Misalnya, berjejernya berbagai mesin EDC di kasir yang membingungkan kasir dan pelanggan, atau menjamurnya produk e-wallet dari berbagai bank dan perusahaan fintech yang berbeda. Padahal, kita ingin sistem pembayaran terintegrasi yang ringkas sekaligus aman bukan?

Fragmentasi Otorita

Terkait transaksi yang ringkas dan aman; pemerintah Indonesia mencoba merumuskan kemudahan verifikasi identitas lewat tanda tangan digital yang diatur dalam UU Informasi Transaksi Elektronik No 11 Tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

Namun apakah Anda sudah memiliki tanda tangan digital yang dapat digunakan luas di sektor jasa keuangan? Hampir pasti belum, karena peluncuran implementasi tanda tangan digital ditargetkan baru terjadi pada kuartal kedua 2017.

Belum optimalnya implementasi ini tidak terlepas dari belum siapnya lembaga yang melakukan validasi tanda tangan digital yang disebut sebagai certificate authority (CA).

Saat ini, bank adalah lembaga yang paling memungkinkan berperan sebagai CA karena mereka menerapkan prinsip KYC (Know Your Customer) paling ketat dan memiliki infrastruktur paling menunjang dibandingkan lembaga lainnya.

Sayangnya kerja sama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk implementasi tanda tangan digital baru diresmikan September 2016.

Jalan panjang implementasi regulasi ini disebabkan belum optimalnya sinergi, atau dapat disebut fragmentasi antar regulator. Sementara fragmentasi dan inklusi adalah dua kutub yang saling berlawanan.

Pemerintah Indonesia sebenarnya memiliki semangat positif terhadap perkembangan fintech untuk mewujudkan inklusi keuangan.

Pada Desember 2016 OJK mengeluarkan Peraturan No. 77/POJK.01/2016 yang mengatur Online P2P Lending, setelah sebulan sebelumnya Bank Indonesia (BI) meresmikan BI FinTech Office.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com