Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pandu Aditya Kristy
Pegiat Fintech

Anggota Asosiasi FinTech Indonesia dan Chief Operating Officer PT Sampoerna Wirausaha (Mekar)

"FinTech" di Indonesia: Antara Fragmentasi vs Inklusi Keuangan

Kompas.com - 07/02/2017, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAprillia Ika

Sayangnya, semangat positif ini dapat terhambat hanya pada tataran formalitas regulasi dan dapat berujung pada fragmentasi.  

Sebagai contoh, Bank Dunia melaporkan bahwa usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) memiliki kontribusi terbesar bagi GDP dan menciptakan lebih dari 100 juta lapangan kerja di Indonesia, tapi hanya sekitar 20 persen yang memiliki akses perbankan.

Banyak lembaga keuangan mengeluarkan biaya begitu besar untuk restrukturisasi kredit UMKM karena debitur bermasalah. Sementara data debitur bermasalah dalam Sistem Informasi Debitur (SID) belum dapat diakses oleh sebagian besar lembaga keuangan non-bank.

Kesulitan identifikasi calon debitur bermasalah membuat penyeleksian pinjaman menjadi terlalu ketat, sehingga beberapa perusahaan fintech diestimasi hanya menghasilkan tingkat persetujuan 3 persen dari total pengajuan pinjaman.

Dengan demikian, fintech belum dapat mengoptimalkan potensinya untuk mendorong inklusi keuangan.

Sinergi sebagai Kunci

Sinergi antar pemangku kepentingan dibutuhkan untuk mendorong peran fintech dalam inklusi keuangan. Pembangunan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) oleh OJK yang akan menggantikan SID sebenarnya bisa menjadi momentum yang baik.

Namun persyaratan pemenuhan seluruh informasi customer di dalam SLIK dapat menjadi kesulitan tersendiri bagi perusahaan fintech khususnya start-up yang memiliki basis pengguna yang luas. Oleh sebab itu sistem ini pun perlu memastikan inklusi bagi penyedia jasa fintech non-bank.

Sebagai solusi, perusahaan fintech dapat diberikan kemudahan awal integrasi SLIK dalam batas waktu pemenuhan persyaratan formal setelah menjadi anggota SLIK.

Selain itu kemudahan integrasi SLIK juga sebaiknya diberikan kepada biro informasi kredit swasta atau disebut Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP) agar bisa memberikan informasi perkreditan yang lebih komprehensif.

Untuk itu OJK perlu bersinergi dengan BI, mengingat LPIP diatur oleh BI. Pertumbuhan LPIP perlu didorong karena akan berkontribusi terhadap indikator akses kredit Bank Dunia yang akan meningkatkan peringkat Indonesia secara internasional.

Pada akhirnya, inklusi keuangan dan kontribusi fintech akan banyak ditentukan oleh peran pemerintah, bukan hanya melalui dukungan formal regulasi, tapi diikuti dengan sinergi seluruh pemangku kepentingan terkait sehingga tercipta ekosistem yang mendukung inklusi keuangan, bukannya fragmentasi.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com