Fintech memayungi berbagai macam produk dan jasa penunjang sektor keuangan, mulai dari sistem pembayaran, asuransi, pasar modal, hingga pemberian pinjaman.
Sayangnya, saat ini seluruh kegiatan fintech memiliki hambatan untuk menuju layanan yang sepenuhnya digital, yaitu sulitnya meninggalkan dokumen fisik.
Payment gateway tetap membutuhkan dokumen fisik untuk menghubungkan pedagang online dengan bank. Agregator produk keuangan atau polis asuransi juga mewajibkan calon nasabah mengisi dokumen fisik sebagai salah satu persyaratan.
Memang telah ada terobosan untuk beberapa produk keuangan, seperti pembelian produk reksa dana secara online tanpa dokumen fisik bagi nasabah baru, atau full digital onboarding experience yang diadopsi oleh beberapa perusahaan online lending.
Namun, praktik tersebut masih sporadis dan belum didukung kebijakan yang seragam.
Tanda Tangan Elektronik
Penggunaan dokumen full digital dihadapkan pada satu tantangan: bentuk dan format tanda tangan yang diakui secara hukum.
Sistem hukum di Indonesia sebenarnya sudah mengatur mengenai “tanda tangan elektronik” dalam UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dalam UU ITE, tanda tangan elektronik didefinisikan sebagai tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
Artinya, setiap metode dan format tanda tangan elektronik dapat diakui secara hukum, sepanjang memenuhi ketentuan elemen tanda tangan elektronik.
Apabila pengaturan UU ITE sudah memperbolehkan penggunaan tanda tangan elektronik, mengapa adopsi tanda tangan elektronik di Indonesia masih rendah?
Sertifikasi dan Tanggung Gugat (liability) Tanda Tangan Elektronik
Menyelenggarakan tanda tangan elektronik pada praktiknya tidak mudah. Penyelenggara tanda tangan elektronik wajib memiliki sistem keamanan dan keandalan untuk membuktikan bahwa informasi yang dilekatkan melalui tanda tangan elektronik tidak dapat diubah dan tidak dapat ditampik (asas non-repudiation).
Dalam kasus sengketa, penyelenggara tanda tangan elektronik harus mampu membuktikan keandalan sistemnya lewat verifikasi ahli.
Artinya, perlu ada pihak ketiga yang melakukan sertifikasi atas tanda tangan elektronik, yang menunjukkan status subyek hukum dari penanda tangan (prinsip verifikasi), kemudian memastikan bahwa subyek penandatangan tidak menampik dokumen yang dibuatnya kemudian hari (prinsip autentifikasi).
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.