Dua pilar lainnya yakni menjaga stabilitas sistem keuangan dan mewujudkan kemandirian finansial masyarakat.
Muliaman mengatakan, upaya mendorong peran perbankan harus beriringan dengan menjaga stabilitas sistem keuangan. Sebab, tanpa stabilitas, peningkatan kontribusi perbankan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi tidak akan berkelanjutan.
“Peningkatan peran ini harus dilakukan secara hati-hati dan tertata, agar tidak menyebabkan lembaga keuangan terekspos pada risiko yang berlebihan, yang pada gilirannya dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan,” katanya.
“Kondisi yang masih serba tidak pasti seperti saat ini menjadi alasan untuk selalu waspada. Kalau sampai ekonomi dan sektor keuangan domestik terjatuh pada krisis, tentu ada biaya tinggi yang harus ditanggung. Hal ini tentu akan mempengaruhi upaya kita mencapai level pertumbuhanyang tinggi. Bangsa kita telah mengalami situasi semacam ini ketika dilanda krisis keuangan pada akhir 1990-an,” tambah Muliaman lagi.
Karena itu, kata Muliaman, yang diperlukan saat ini adalah menjaga keseimbangan (strike the balance) antara dua hal. Di satu sisi, terus mendorong peran industri keuangan dalam pendanaan pembangunan dan di sisi lain menjaga dan memperkuat agar lembaga keuangan tetap sehat, baik pada masa normal maupun masa krisis.
Striking the balance tersebut menjadi semakin penting karena inovasi produk keuangan semakin pesat. Operasional lembaga keuangan makin hari makin kompleks.
Interkoneksi antarlembaga keuangan juga makin meningkat. Dampaknya, potensi risiko sistemik dan contagion effect juga semakin besar.
Menjaga daya tahan
OJK telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk memperkuat daya tahan industri perbankan terhadap gejolak baik dari eksternal maupun internal.
Pada tahun 2015 misalnya, OJK telah mengeluarkan ketentuan terkait capital surcharge untuk bank sistemik. Selanjutnya pada tahun 2016, OJK memberlakukan Peraturan OJK tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.
Dalam peraturan ini, di samping ketentuan modal minimum sesuai profil risiko, bank harus menyediakan capital conservation buffer, countercyclical buffer, serta capital surcharge khusus bank sistemik. Intinya, bank harus memiliki modal tambahan, yang berfungsi sebagai penyangga bila terjadi krisis.
Tak heran, permodalan industri perbankan Indonesia terus menguat. Rasio permodalan (capital adequacy ratio/CAR) meningkat dari posisi 19,57 persen pada akhir 2014 menjadi 22,91 persen pada akhir 2016.
Rasio modal inti (tier 1) juga meningkat dari 18,01 persen pada 2014 menjadi 21,18 persen pada akhir 2016. Meningkatnya CAR dan modal inti menunjukkan membaiknya kualitas bank dalam menyerap risiko-risiko yang muncul.
Muliaman mengatakan, dengan daya tahan yang kuat, perbankan akan lebih leluasa menjalankan fungsi intermediasinya dalam menyediakan likuiditas untuk pembiayaan pembangunan.