Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Arab Saudi Susul Produsen Minyak Lain Bidik Investasi ke Indonesia, Terlambatkah?

Kompas.com - 27/02/2017, 07:00 WIB
Estu Suryowati

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Kedatangan Raja Salman ke Tanah Air menjadi buah bibir sepekan terakhir. Sambutan yang begitu mewah, meskipun sebagian kebutuhan sang raja dibawa sendiri dari negara asal, menunjukkan betapa Pemerintah Indonesia sangat berharap ada investasi dalam jumlah fantastis yang dibawa serta.

Lumrah, pemerintah berharap lawatan sang raja kali ini akan mendatangkan investasi yang cukup besar. Sebab, jika dibandingkan dengan negara-negara kaya minyak lainnya, realisasi investasi Arab Saudi sepanjang tahun lalu relatif masih sangat rendah.

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi produsen minyak asal Timur Tengah itu tercatat hanya sekitar 900.000 dollar AS. Jika dihitung dengan asumsi kurs 13.300, maka investasinya hanya sekitar Rp 11,97 miliar.

Realisasi investasi ini menempatkan Arab Saudi pada urutan ke-57 dari 121 negara yang menanamkan modal ke Indonesia, yang masuk melalui BKPM.

Adapun investasi Arab Saudi yang masuk melalui pasar modal, tidak ada data yang solid. Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Tito Sulistio kepada Kompas.com pada Minggu (26/2/2017) menuturkan, dana asing keluar masuk bursa sehingga sulit diidentifikasi total nominalnya.

Selain itu, investor asing menaruh atau mencabut dananya dari pasar modal diwakili oleh kustodian.

"Agak sulit (melacak investasi berdasarkan negara asal) karena kan investasi di bursa pakai kustodian. Jadi, si pemegang saham masuknya nama kustodian," kata Tito.

Dok. BKPM Data Investasi BKPM 2016

Investasi Arab Saudi rendah

Kembali ke data BKPM, realisasi investasi sebesar Rp 11,97 miliar tahun lalu itu digunakan dalam pengerjaan 44 proyek. Pencapaian investasi Arab Saudi ini pun masih jauh di bawah negara-negara produsen minyak yang tergabung dalam OPEC.

Dibandingkan Irak, misalnya, produsen minyak kedua terbesar setelah Arab Saudi itu realisasi investasinya pada tahun lalu justru mencapai 2,7 juta dollar AS.

Realisasi investasi setara Rp 35,91 miliar itu digunakan untuk pengerjaan 13 proyek dan menempatkan Irak di urutan ke-44. Lebih tinggi lagi dari Irak, ada Kuwait dengan realisasi investasi mencapai 3,6 juta dollar AS atau sekitar Rp 47,88 miliar.

Dana sebesar itu digunakan untuk mengerjakan sembilan proyek dan menempatkan Kuwait di peringkat ke-42 dari 121 negara investor asing.

Bahkan realisasi investasi Iran sepanjang tahun lalu mencapai 14,3 juta dollar AS atau sekitar Rp 190,1 miliar untuk pengerjaan 16 proyek. Iran pun menduduki peringkat 33 sebagai negara investor asing terbesar pada 2016.

Di luar kartel, Rusia yang juga produsen minyak besar global telah merealisasikan investasinya di Indonesia hingga 5,5 juta dollar AS atau setara Rp 73,15 miliar untuk mengerjakan 32 proyek. Rusia menempati posisi ke-38 sebagai negara investor terbesar di Indonesia pada 2016.

Teka-teki kedatangan Raja Salman

Sejumlah media asing melansir, kedatangan Raja Salman ke Indonesia tak lain adalah untuk diversifikasi sumber pendapatan negara. Harga minyak yang tak setinggi saat booming komoditas memaksa Arab Saudi memutar otak agar negaranya tetap sejahtera.

Wajar saja, 85 persen pendapatan negara berasal dari minyak. Akibat kelebihan pasokan global, harga minyak tertekan dan berimbas pada APBN Arab Saudi.

Gulf News pada Minggu (26/2/2017) menuliskan, defisit anggaran Arab Saudi pada 2015 mencapai 366 miliar riyal atau sekitar Rp 1.281 triliun (kurs 3.500). Beruntung, defisit anggaran bisa ditekan menjadi 297 miliar riyal atau sekitar Rp 1.039,5 triliun pada 2016.

Namun, kondisi itu masih terlalu buruk. Bahkan Arab Saudi terpaksa harus berutang untuk kali pertama sebesar 17,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 232,75 triliun guna menambal defisit APBN.

Negara-negara produsen OPEC telah sepakat untuk melakukan pemotongan produksi minyak di enam bulan pertama tahun 2017 sebesar 1,8 juta barrel, untuk menyeimbangkan pasokan global yang menekan harga selama lebih dari dua tahun.

Meski demikian, diversifikasi investasi dan pasar bagi Arab Saudi menjadi sebuah keniscayaan di tengah pemulihan harga yang berjalan lamban.

Menurut Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro, Arab Saudi mau tak mau, tidak bisa lagi mengandalkan penerimaan negara dari minyak.

"Amerika Serikat yang menjadi pasar minyak mentah bagi Arab Saudi kini sudah bisa mencukupi kebutuhan sendiri," kata Komaidi kepada Kompas.com.

Merunut kepentingan Arab Saudi mencari pasar baru itu, ibarat pucuk dicinta ulam tiba, Indonesia agaknya menjadi negara yang tepat sebagai tujuan diversifikasi investasi sekaligus diversifikasi pasar.

Komaidi mengatakan, ini nantinya akan tampak dari investasi apa yang menjadi kecenderungan Arab Saudi di Indonesia. Investasi di hulu migas di Indonesia jelas lebih mahal dibandingkan investasi di hulu migas di negara-negara Teluk.

Oleh sebab itu, Komaidi hampir yakin Arab Saudi akan banyak bermain di proyek hilir, seperti kilang minyak. Kalaupun ada sektor lain, barangkali salah satunya pariwisata.

"Indonesia sekalian jadi pasar produk minyak mentah mereka. Selama ini kan mereka ke Eropa dan AS. Sementara saat ini AS sudah bisa mandiri, maka mungkin ini adalah relokasi. Yang selama ini minyak mentah dibawa ke AS, akan dibawa ke Indonesia," imbuh Komaidi.

Tentu saja bukan hal buruk karena toh Indonesia sangat membutuhkan ketersediaan energi. Hanya saja, yang menjadi pertanyaan adalah dari investasi yang diharapkan sebesar 25 miliar dollar AS itu, berapa nantinya yang menjadi komitmen dan akhirnya betul-betul dilaksanakan.

Sebab, kata Komaidi, biasanya apa yang direncanakan tidak seluruhnya bisa terwujud. Tentu saja sebagai investor, Arab Saudi akan mengambil peluang yang hitung-hitungannya menguntungkan bagi mereka. 

Kalau hasilnya menguntungkan pun mereka akan berpikir kembali apakah keuntungan yang diperoleh lebih besar jika investasi di luar negeri atau dalam negeri. Pada akhirnya, kata Komaidi, realisasinya akan kembali pada sang raja.

"Jadi saya kira posisi kita sama-sama kuat. Kalau dilihat seolah-olah kedatangan mereka anugerah besar, membawa 1.500 orang dan 25 pangeran. Saya kira kontribusi kita dari haji dan umrah luar biasa ke mereka. Jadi, sebenarnya hal yang wajar saja (Raja Salman datang)," kata Komaidi.

Bahkan jika melihat perbandingan dengan negara-negara produsen minyak lainnya, ia berpendapat, Arab Saudi agak terlambat melihat potensi pasar Indonesia.

"Kanan kirinya sudah masuk, ada Irak, Kuwait. Itu juga menjadi pertimbangan mereka, ternyata teman-teman di sekitarnya sudah masuk ke sana. Ini menunjukkan perspektif negara-negara Teluk ke Indonesia oke," ucap Komaidi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com