Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Penyebab Investasi EBT di Kawasan Timur Indonesia Tidak Menarik

Kompas.com - 14/03/2017, 15:55 WIB
Iwan Supriyatna

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Potensi sumber daya energi baru terbarukan (EBT) di kawasan timur Indonesia (KTI) sangat tinggi. Tetapi, investasi EBT di kawasan ini dinilai tidak akan menarik bagi investor. Apa sebabnya?

Andi Rukman Karumpa, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) kawasan Indonesia Timur, mengatakan bahwa investasi EBT di timur Indonesia tidak menarik karena selain minus insentif, regulasi juga tidak mendukung.

"Potensi EBT di KTI besar. Sayangnya, insentifnya yang lemah. Ini yang membuat swasta tidak terlalu tertarik masuk ke KTI," kata Andi melalui keterangannya, Selasa (14/3/2017).

Tak hanya itu, regulasi yang dikeluarkan kementerian terkait juga tidak bersahabat bagi investor atau IPP (independent power producer).

Andi mengatakan, pihaknya menghargai keluarnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 12/2017 tentang pemanfaatan sumber energi terbarukan bagi penyediaan tenaga listrik. Di sana juga ditegaskan, kewajiban PLN membeli listrik dari EBT.

Namun semangat dari Permen ini, menurut Andi, hanya bagaimana PLN bisa membeli listrik semurah mungkin dari IPP. Permen ini tidak memberikan rangsangan yang cukup bagi IPP untuk berinvestasi.

"Semangat Permen hanya bagaimana membeli murah. Tapi tidak dipikirkan bagaimana produksinya menjadi lebih murah lagi, sehingga marginnya menarik bagi pengusaha," tutur Andi.

Andi mengatakan, investasi EBT di kawasan timur Indonesia mesti dibuat semenarik mungkin, sebab biaya investasi di KTI sangat mahal. 

Menurut dia, adanya keterbatasan infrastruktur, sumber daya manusia (SDM), beratnya medan yang dilalui ditambah lagi cost of fund yang besar. Juga ditambah minimnya dukungan perbankan karena perbankan menilai risiko di kawasan timur Indonesia sangat tinggi.

"Sebab itu, investasi di kawasan timur Indonesia ini jangan disamakan dengan wilayah lain, apalagi disamakan dengan Timur Tengah yang buminya semuanya datar dan tanahnya gratis, bunga banknya cuma 3 persenan," ucap Andi.

(Baca: Minat Investor Asing Bangun Pembangkit Listrik EBT di Gorontalo Terkendala Regulasi )

Sebelumnya, pemerintah mengatakan akan menekan tarif listrik EBT semurah mungkin. Dalam Permen ESDM nomor 12/2017 disebutkan tarif EBT sebesar 85 persen dari biaya pokok penyediaan (BPP) daerah tempat pembangkit listrik EBT dibangun.

Menteri ESDM Ignasius Jonan sebelumnya mengatakan, pihaknya berpatokan pada tarif listrik pembangkit listrik EBT di Arab Saudi yang bisa mencapai 2,99 dollar Amerika Serikat (AS) sen per kwh.

Pemerintah Arab Saudi kemudian memberikan sejumlah insentif bagi pengembangan listrik EBT, di antaranya pemberian lahan gratis dan insentif pajak.

Jonan mengatakan, pemerintah bisa memberikan lahan secara gratis seperti di Arab Saudi asalkan ada pelaku industri yang bisa memberikan tarif listrik 1,99 dollar AS per kwh. Faktanya, belum ada satu pun investor yang mengajukan tarif EBT seperti di Arab Saudi itu.

"Ini menunjukan bahwa tawaran pemerintah belum menarik. Pak Menteri harus cari formula lain. IPP yang paham kebutuhannya apa," tutur Andi.

Andi mengatakan, kebutuhan listrik di kawasan timur Indonesia sangat tinggi, utamanya dunia usaha. Meningkatnya kebutuhan listrik tersebut sebagai akibat dari keseriusan pemerintah pusat membuka isolasi daerah-daerah tertutup seperti di Papua, Kalimantan, dan Sulawesi.

"Isolasi terbuka, ekonominya bergerak. Listriknya yang masalah. Kita kurang disini," sebut Andi.

Andi menambahkan, rendahnya insentif ini akan membuat target pemerintah untuk mencapai bauran energi 23 persen pada tahun 2025 menjadi meleset lagi.

"Apalagi  kinerja sektor EBT bergerak negatif. Padahal, porsi EBT di negara-negara lain meningkat tajam," pungkas Andi.

(Baca: Pengamat: Kok Semua Program EBT Harus Didanai Masyarakat? )

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com