Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Menjadi Cukup

Kompas.com - 24/03/2017, 17:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Stres, misalnya, dapat memutus komando dari desire ke urge, atau dari urge ke action. Orang bisa kehilangan rasa lapar karena stres, atau tidak memiliki keinginan untuk makan meski merasa lapar. Sebaliknya, orang juga bisa kehilangan kendali, terus makan meski sudah kenyang, atau makan meski tidak lapar.

Menjadi cukup adalah ketika kita mampu menjalankan siklus alami dari stimulus sampai reward tadi, sehingga proses yang berlangsung adalah pemenuhan kebutuhan secara wajar.

Bagaimana itu bisa dilakukan? Menariknya, otak kita itu berperilaku mirip dengan otot. Bagian otot yang sering kita aktifkan akan menjadi kuat.

Orang yang sering sit up akan memiliki otot perut yang kuat. Demikian pula dengan otak kita. Kalau siklus tadi biasa kita jalankan secara utuh, maka ia akan bekerja secara kuat, tidak mudah diputus mata rantainya.

Menjadi cukup adalah soal memberi signal reward ke otak, menyatakan bahwa perintah dari urge sudah terlaksana. Kalau kita terlatih untuk tajam dalam soal itu, maka kita bisa mengendalikan kapan kita akan merasa cukup.

Siklus ini berlaku untuk semua sistem keinginan, termasuk keinginan untuk memiliki harta, menikmati hubungan seks, pengakuan sosial, dan sebagainya.

Apakah kita akan jadi orang yang terus menerus melakukan tindakan memenuhi dorongan atau urge, atau kita bisa menghentikannya, tergantung pada kebiasaan kita sehari-hari.

Bila kita biasakan untuk mengabaikan pesan reward, itu artinya sensor yang menerima pesan agar otak menghentikan tindakan sudah rusak.

Jadi, bemarkah manusia tidak pernah puas? Salah. Sistem di otak kita sudah dibekali dengan saklar untuk menghentikan tindakan saat kebutuhan kita sudah terpenuhi. Itulah saat kita merasa puas. Hanya saja, kita atau manusia sering merusak sistem itu. Jadilah ia orang yang tak lagi bisa puas.

Puasa sebenarnya adalah kegiatan untuk melatih otak melakukan hal ini, yaitu mengendalikan dorongan. Hubungan antara desire dan action dikendalikan sedemikian rupa, sehingga tidak semua tuntutan desire diterjemahkan menjadi tindakan atau action.

Sayangnya, pada kebanyakan orang yang puasa, kendali ini hanya dilakukan pada siang hari saja. Malam hari kendali itu dilepas bebas. Karena itu puasa tidak membawa manfaat pelatihan yang baik. Pelatihan pada siang hari tidak menimbulkan bekas, dihapus oleh sikap pada malam hari.

Keseimbangan adalah soal menjalankan siklus tadi secara utuh. Kita tetap memelihara dorongan, tapi juga menjaga sensitivitas sensor reward. Keseimbangan juga bisa diperoleh dengan mengalihkan tenaga dorongan.

Dorongan untuk terus makan, bisa kita puaskan dengan berbagi. Imbalan kepuasan yang kita peroleh dari berbagi akan mengalihkan dorongan pemenuhan keinginan, dari makan menjadi keinginan untuk berbagi. Hal yang sama bisa berlaku pula untuk keinginan kita untuk memperoleh dan menumpuk harta.

Jadi, merasa puas atau tidak, itu adalah soal bisa atau tidaknya kita mengendalikan pikiran, yaitu pada sistem pemenuhan kebutuhan kita.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads

Copyright 2008 - 2023 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com