Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rhenald Kasali
Guru Besar Manajemen

Akademisi dan praktisi bisnis yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sejumlah buku telah dituliskannya antara lain Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode Your Change DNA (2007), Disruptions, Tommorow Is Today, Self Disruption dan The Great Shifting. Atas buku-buku yang ditulisnya, Rhenald Kasali mendapat penghargaan Writer of The Year 2018 dari Ikapi

Menyoal Kuota Taksi "Online"

Kompas.com - 06/04/2017, 06:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBambang Priyo Jatmiko

Jadi, kalau para pebisnis menjual produk atau jasa, para penguasa bisa menjual kewenangannya. Kalau dulu transaksinya tunai, ke depan bakal lebih canggih lagi. Bisa non-tunai.

Kedua, dengan pengalaman kuota tadi, saya sangat khawatir penerapan sistem kuota pada taksi online ini bakal menjadi lahan baru untuk pungli. Apalagi, Anda tahu, dua tahun lagi bakal ada Pemilu. Dalam waktu dekat ini, semua butuh dana.

Maka, penerapan sistem kuota pada taksi online bisa menjadi semacam déjà vu. Melelahkan karena kita berulang masuk pada lubang yang sama.

Kita memang bukan keledai. Kata orang, keledai saja tak akan masuk pada lubang yang sama untuk kedua kalinya. Mungkin karena bukan keledai, kita sering merasa boleh terperosok ke dalam lubang yang sama sampai berkali-kali.

Ini tentu tidak boleh terjadi. Sebab di sisi lain pemerintah kita sedang habis-habisan memberantas pungli. Bahkan pemerintah sampai membentuk tim khusus untuk ini, yakni tim Saber Pungli. Sudah banyak pelaku yang tertangkap tangan oleh tim ini. Lalu apa solusinya?

Masyarakat Jadi Juri

Saya ajak Anda masuk ke dalam perspektif tentang disruption. Anda tahu, disruption di negara kita terjadi melalui dua pola.

Pertama, new market disruption. Ini biasanya didahului dengan hadirnya produk-produk baru yang menggusur produk lama. Ingat bukan, kasus telegram yang digantikan oleh SMS, atau radio panggil (pager) yang tergusur oleh kehadiran ponsel.

Kedua, disruption lewat pola low end. Disruption ini terjadi akibat hadirnya produk sejenis, tetapi dengan harga yang jauh lebih murah.Disruption model inilah yang sedang marak di negara kita.

Contohnya kasus penerbangan Low Cost Carrier yang sempat mengguncang bisnis penerbangan full service yang dilakukan oleh PT Garuda Indonesia. Di bisnis transportasi darat, adanya taksi atau ojek online yang memukul taksi atau ojek konvensional.

Di bisnis perhotelan, terjadi persaingan antara hotel-hotel melawan rumah-rumah sewa yang ditawarkan melalui Airbnb, sebuah perusahaan aplikasi. Lalu, biro-biro perjalanan wisata terpaksa menggeser bisnis pemesanan tiket atau kamar hotel akibat hadirnya perusahaan-perusahaan aplikasi seperti Traveloka, Agoda, pegipegi, dan masih banyak lagi.

Kini banyak department store yang gelisah akibat hadirnya toko-toko online, seperti Lazada atau Tokopedia. Lalu, toko-toko buku juga kian cemas menghadapi e-Bay atau perusahaan e-commerce lainnya.

Perusahaan-perusahaan konvensional tadi masih mengelola produk lama, pasar yang lama, dan berbisnis dengan cara-cara lama. Padahal, bisnis dan pasar masa depan tidak ada di situ!

Lalu, apa yang mesti dilakukan? Biarkan perusahaan-perusahaan itu bertarung. Biarkan juga perusahaan-perusahaan taksi online bertarung. Pemerintah jangan terlalu mengatur, di antaranya melalui sistem kuota tadi.

Garuda Indonesia memilih bertarung menghadapi maskapai penerbangan LCC. Kini, terbukti Garuda mampu bertahan. Pos Indonesia, yang bisnisnya habis-habisan terpukul oleh kehadiran operator selular, juga memilih bertarung dan mereka ternyata bisa bertahan.

Bertarung adalah bagian dari mekanisme pasar. Dan, itu pada akhirnya bakal menguntungkan konsumen.

Meski begitu bukan berarti pemerintah tak boleh mengatur. Boleh. Salah satu tugas pemerintah adalah melindungi masyarakat, yakni konsumen taksi. Itulah yang perlu diatur pemerintah. Misalnya, dengan menetapkan standar layanan.

Soal pengawasannya, sebagian serahkan saja kepada masyarakat. Saya yakin ke depan bakal ada lembaga-lembaga survei yang memeringkat layanan taksi-taksi online. Dan konsumen pasti membaca dan memakainya sepanjang fair. Lagipula ada media sosial yang membuat  masyarakat kita punya banyak kanal untuk menyalurkan pendapatnya.

Jadi, negara tak perlu  terlalu banyak mengatur. Biarkan perusahaan-perusahaan taksi online berkompetisi, dan biarkan masyarakat kita yang menjadi jurinya. Merekalah yang kelak memutuskan siapa yang layak menjadi pemenangnya. Bukan negara!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com