Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Putra, HC
Komite Eksekutif ICCI

Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

Menyempurnakan "Sharing Economy"

Kompas.com - 02/05/2017, 18:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLaksono Hari Wiwoho

Februari lalu Prof. Rhenald Kasali kembali meluncurkan buku "Disruption: Tak Ada yang Tak Bisa Diubah Sebelum Dihadapi, Motivasi Saja Tidak Cukup (2017)".

Disruption atau disrupsi, katanya, telah membuat Blue Bird mengalami penurunan laba bersih dari 629,1 miliar menjadi Rp 360,8 miliar atau 42,3 persen pada tahun 2016.

Adapun Taksi Express rugi sampai Rp 81,8 miliar dari tahun sebelumnya untung Rp 11,8 miliar.

Kedua perusahaan itu terdisrupsi oleh Uber, yang konyolnya, tak memiliki armada, pangkalan, dan mesin argometer.

Beda model bisnis

Perkembangan teknologi informasi membuat model bisnis berubah. Blue Bird dan Express memiliki model bisnis yang berbeda dari Uber meski sama-sama memiliki layanan taksi.

Yang pertama sebuah perusahaan transportasi yang memiliki armada, pangkalan, bengkel, dan izin operasional layanan taksi. Yang kedua merupakan perusahaan aplikasi yang menghubungkan antara orang yang memiliki mobil (supply) dengan orang yang membutuhkan layanan (demand).

Yang pertama membangun asetnya secara mandiri. Yang kedua memaksimalkan kapasitas menganggur (idle capacity) dari aset berupa mobil-mobil pribadi. Model bisnis yang kedua itulah yang disebut sebagai sharing economy vis-a-vis owning economy.

Hampir setahun lalu Dr. Revrisond Baswir pernah mengulas ihwal sharing economy. Alih-alih bersetuju, ia justru menyebutnya sebagai brokerage economy. Di mana aplikasi bertugas menghubungkan (brokering) antara supply dan demand.

Kritik ekonom UGM kepada ekonom UI itu ada benarnya karena sharing economy itu harus berbeda dari owning economy dalam konstruksi dasarnya, bukan sekadar modus semata.

Siapa pemilik

Dalam model bisnis seperti Blue Bird dan Express, pemilikan perusahaannya bersifat personal oleh seseorang atau beberapa orang. Seluruh aktivitas usaha bekerja untuk mencari laba bagi si pemilik (profit oriented). Dengan mudah kita kenali model itu sebagai owning economy.

Lantas, siapa pemilik Uber yang dilabeli sebagai sharing economy itu? Adakah ribuan pemilik mobil? Bukan. Pendiri dan pemiliknya adalah Travis Kalanick dan Garett Camp. Adapun posisi para pemilik mobil tak ubahnya seperti tenaga kerja lepas (offshore) yang secara sukarela meng-uber-kan mobilnya lewat aplikasi.

Meski bukan pemilik Uber, dari tingkat kesejahteraan, sopir Uber bisa jadi pendapatannya lebih tinggi daripada sopir taksi konvensional.

Seorang sopir Uber di Bandung, yang saya jumpai belum lama ini, mengisahkan bahwa sehari paling tidak ia bisa kantongi Rp 500.000 dengan minimal 13 kali perjalanan (trip). Ia pilih nguber untuk isi waktu luang daripada mobilnya nganggur.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com