Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Berly Martawardaya
Dosen

Dosen Magister Kebijakan & Perencanaan Kebijakan Publik (MPKP) di FEB-UI, Ekonom INDEF dan Ketua PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)

Disrupsi Teknologi dan Tarif Bawah Taksi Online

Kompas.com - 04/05/2017, 12:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAna Shofiana Syatiri

Salah satu prinsip pada transportation economics adalah ketika permintaan sedang meningkat sedangkan supply tetap, maka harga transportasi juga bertambah. Prinsip ini sudah lama diterapkan armada penerbangan biaya rendah (Low Cost Carrier) seperti AirAsia dan TigerAir. Kalau memesan tiket pesawat dua bulan atau lebih dari tanggal keberangkatan, maka harga akan sangat rendah, sebaliknya kalau baru membeli 2-3 hari sebelum hari H maka harga akan lebih tinggi.

Prinsip yang digunakan adalah willingness to pay (kemauan membayar) secara sukarela. Orang yang anggarannya ketat dan bisa memperkirakan waktu perjalanannya jauh-jauh hari akan disubdi silang dengan orang yang anggarannya lebih besar dan memerlukan fleksibilitas waktu sehingga beli tiketnya mepet mendekati berangkat.

Dengan menawarkan harga berbeda maka masyarakat diuntungkan. Yang tadinya tidak mau atau tidak mampu naik pesawat maka bisa membeli tiket dengan memajukan pembelian. Apakah maskapai merugi dengan skema ini? Tidak, karena ada subsidi silang. Apakah pembedaan harga tiket pesawat berdasarkan tingkat permintaan (dynamic pricing) harus dilarang? Jelas tidak. Logika serupa bisa diterapkan pada dynamic pricing pada taksi berbasis aplikasi.

Predatory pricing dan UMP

Tapi pada lain sisi, perlu ada pencegahan perusahaan berskala besar dengan modal tebal tidak memberi subsidi operasi besar-besaran untuk membangkrutkan (predatory pricing) dan tidak menekan pengemudi yang memiliki posisi tawar rendah.

Jadi sebagai jalan tengah, perlu dipertimbangkan bahwa tarif batas bawah yang ditetapkan pemerintah adalah biaya (at cost) tenaga kerja dan bahan bakar yang digunakan pada perjalanan tersebut.

Upah Minimum di Jakarta saat ini adalah Rp 3,35 juta per bulan. Dengan memperhitungkan bahwa jam kerja wajar per hari adalah 8 jam dan sebulan terdiri dari 22 hari kerja, maka bisa dikalkulasi bahwa  upah minimum untuk satu jam kerja adalah Rp 19.000.

Jadi dalam perjalanan dengan taksi berbasis aplikasi memakan waktu satu jam dan menempuh 16 km, maka dengan mengasumsikan bahwa 1 liter BBM dapat digunakan untuk menempuh 8 km dan harga per liter saat ini Rp 6.450, maka dengan ditambah biaya tenaga kerja Rp 19.000, total tarif bawahnya adalah Rp 31.900. Formula ini sangat mudah diterapkan karena aplikasi sudah mencatat waktu dan jarak tempuh. Tentunya taksi berbasis aplikasi dapat menerapkan tarif lebih tinggi.

Kebijakan tarif bawah hendaknya bertujuan untuk  meningkatkan surplus konsumen dan melindungi pengemudi, bukan untuk melestarikan oligopoli dari beberapa perusahaan yang tidak efisien. Semoga kebijakan tarif bawah bukan bagai memaksa masyarakat menggunakan delman ketika sudah ada media transportasi yang lebih murah dan nyaman.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com