Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rhenald Kasali
Guru Besar Manajemen

Akademisi dan praktisi bisnis yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sejumlah buku telah dituliskannya antara lain Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode Your Change DNA (2007), Disruptions, Tommorow Is Today, Self Disruption dan The Great Shifting. Atas buku-buku yang ditulisnya, Rhenald Kasali mendapat penghargaan Writer of The Year 2018 dari Ikapi

Meluruskan Pemahaman soal "Disruption"

Kompas.com - 05/05/2017, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBambang Priyo Jatmiko

Mengapa? Sederhana saja, yakni karena pikiran seperti itu amat kental logika masa lalunya. Jadi alih-alih menjelaskan, orang "berpengalaman" (masa lalu) malah bisa menyesatkan kita. Kata orang bijak, belajar itu sejatinya menjelajahi tiga fase: learn, unlearn, relearn. Sebab dunia itu terus berubah.

Disruption sesungguhnya terjadi secara meluas. Mulai dari pemerintahan, ekonomi, hukum, politik, sampai penataan kota, konstruksi, pelayanan kesehatan, pendidikan, kompetisi bisnis dan juga hubungan-hubungan sosial. Bahkan konsep marketing pun sekarang terdisrupsi. 

Tapi, sayangnya ingatan publik bukan tertuju pada fenomena e-kampong yang dikembangkan di Banyuwangi, atau di Provinsi DKI Jakarta dengan aplikasi Qlue, atau penerapan Smart City di Kota Bandung dan Denpasar.

Ingatan publik juga belum sampai pada metode pelayanan kesehatan yang sekarang sudah semakin berbasiskan teknologi jarak jauh dan kolaboratif.

Sampai sekarang belum banyak orang yang menyadari bahwa sebagian mahasiswa Indonesia sudah bisa kursus di Harvard tanpa harus pergi ke Harvard. Dan, tak banyak yang menyadari bahwa para dokter sudah tak lagi memakai pisau bedah seperti di masa lalu untuk membedah organ dalam pasiennya.

Juga belum banyak yang menyadari bahwa pekerjaan-pekerjaan yang sekarang tengah digeluti para buruh, bankir, dan dosen, mungkin sebentar lagi akan beralih. Bahkan masih ada beranggapan bahwa disruption seakan-akan hanya masalah meng-online-kan layanan, menggunakan aplikasi dan mem-broker-kan hal-hal tertentu.

Anggapan seperti itu—bahwa disruption hanya terjadi pada industri digital—sekali lagi saya tegaskan, jelas kurang pas. Sebab disruption tidak seperti itu.

Disruption terjadi di mana-mana, dalam bidang industri apa pun. Ia bahkan mengubah landasan hubungan dari kepemilikan perorangan menjadi kolektif kolaboratif.

Beberapa Contoh

Supaya kita punya anggapan yang sama, saya ingin tegaskan lima hal penting dalam disruption. Pertama, disruption berakibat penghematan banyak biaya melalui proses bisnis yang menjadi lebih simpel.

Kedua, ia membuat kualitas apapun yang dihasilkannya lebih baik ketimbang yang sebelumnya. Kalau lebih buruk, jelas itu bukan disruption. Lagipula siapa yang mau memakai produk/jasa yang kualitasnya lebih buruk?

Ketiga, disruption berpotensi menciptakan pasar baru, atau membuat mereka yang selama ini ter-eksklusi menjadi ter-inklusi. Membuat pasar yang selama ini tertutup menjadi terbuka.

Keempat, produk/jasa hasil disruption ini harus lebih mudah diakses atau dijangkau oleh para penggunanya. Seperti juga layanan ojek atau taksi online, atau layanan perbankan dan termasuk financial technology, semua kini tersedia di dalam genggaman, dalam smartphone kita.

Kelima, disruption membuat segala sesuatu kini menjadi serba smart. Lebih pintar, lebih menghemat waktu dan lebih akurat.

Itulah lima ciri disruption yang belakangan ini marak terjadi di mana-mana. Apakah itu hanya terbatas pada industri digital? Jelas tidak. Perbaikan proses bisnis, misalnya, mampu memangkas biaya-biaya yang tidak perlu.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com