Akademisi dan praktisi bisnis yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sejumlah buku telah dituliskannya antara lain Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode Your Change DNA (2007), Disruptions, Tommorow Is Today, Self Disruption dan The Great Shifting. Atas buku-buku yang ditulisnya, Rhenald Kasali mendapat penghargaan Writer of The Year 2018 dari Ikapi
Tapi, baiklah mungkin anggapan ini muncul karena masih awamnya pemahaman masyarakat dan para elit terhadap basic concept mengenai disruption itu sendiri. Sebagian baru pada tahapan ngasal dan mungkin malas membaca, sehingga menggunakan cara berpikirnya yang kemarin untuk melihat apa yang terjadi hari ini.
Padahal, disruption itu bukan sekedar fenomena hari ini (today), melainkan fenomena "hari esok" (the future) yang dibawa oleh para pembaharu ke saat ini, hari ini (the present).
Pemahaman seperti ini menjadi penting karena sekarang kita tengah berada dalam sebuah peradapan baru. Kita baru saja melewati gelombang tren yang amat panjang, yang tiba-tiba terputus begitu saja (a trend break).
Bahayanya adalah semakin "berpengalaman" dan "merasa pintar" seseorang, dia akan semakin sulit untuk "membaca" fenomena ini. Ia akan amat mungkin mengalami "the past trap" atau "success trap".
Apalagi untuk mencerna dan berselancar di atas gelombang disrupsi. Itu akan sulit sekali diterima oleh orang yang pintar dan berpengalaman tadi.
Mengapa? Sederhana saja, yakni karena pikiran seperti itu amat kental logika masa lalunya. Jadi alih-alih menjelaskan, orang "berpengalaman" (masa lalu) malah bisa menyesatkan kita. Kata orang bijak, belajar itu sejatinya menjelajahi tiga fase: learn, unlearn, relearn. Sebab dunia itu terus berubah.
Disruption sesungguhnya terjadi secara meluas. Mulai dari pemerintahan, ekonomi, hukum, politik, sampai penataan kota, konstruksi, pelayanan kesehatan, pendidikan, kompetisi bisnis dan juga hubungan-hubungan sosial. Bahkan konsep marketing pun sekarang terdisrupsi.
Tapi, sayangnya ingatan publik bukan tertuju pada fenomena e-kampong yang dikembangkan di Banyuwangi, atau di Provinsi DKI Jakarta dengan aplikasi Qlue, atau penerapan Smart City di Kota Bandung dan Denpasar.
Ingatan publik juga belum sampai pada metode pelayanan kesehatan yang sekarang sudah semakin berbasiskan teknologi jarak jauh dan kolaboratif.
Sampai sekarang belum banyak orang yang menyadari bahwa sebagian mahasiswa Indonesia sudah bisa kursus di Harvard tanpa harus pergi ke Harvard. Dan, tak banyak yang menyadari bahwa para dokter sudah tak lagi memakai pisau bedah seperti di masa lalu untuk membedah organ dalam pasiennya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanDapatkan informasi dan insight pilihan redaksi Kompas.com
Daftarkan EmailPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.