Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Rangkaian Dampak Positif dari Kebijakan Pemberantasan "Illegal Fishing"

Kompas.com - 17/06/2017, 15:35 WIB
Kurnia Sari Aziza

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, kebijakan memerangi Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing tak hanya mengusir para pencuri ikan dari lautan Indonesia.

Kebijakan ini, lanjut dia, juga untuk meningkatkan stok ikan lestari atau maximum sustainable yield (MSY) di lautan Indonesia.

(Baca: Susi: Pemberantasan "Illegal Fishing" Jadi "Go Internasional")

Berdasarkan hasil kajian Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan (Kajiskan), MSY Indonesia naik dari 7,3 juta ton pada tahun 2015 menjadi 9,93 juta ton pada tahun 2016. Kemudian pada tahun 2017, kembali meningkat menjadi 12,54 juta ton.

Hal ini, lanjut dia, mematahkan pandangan yang menyangsikan kebijakan penanggulangan illegal fishing dengan penenggelaman dan moratorium kapal eks-asing di Indonesia.

"Jadi kalau ada yang tanya setelah Susi sukses berantas illegal fishing, what’s next? Peningkatan-peningkatan tersebut adalah jawabannya," kata Susi, dalam konferensi pers yang digelar Jumat (16/6/2017) dan dikutip keterangannya pada Sabtu (17/6/2017).

Peningkatan MSY ini juga berdampak terhadap nilai tukar nelayan yang mencapai 110 dan nilai tukar usaha perikanan (NTUP) nelayan yang mencapai 120 pada tahun 2016. Nilai ekspor meningkat 5,8 persen dari 3,94 juta dollar AS pada tahun 2015 menjadi 4,17 juta dollar AS pada tahun 2016.

Selain itu, terjadi penurunan impor hingga 70 persen. Pada tahun 2016, kuota impor yang terpakai hanya sebesar 20 persen dari kuota yang telah disediakan. Peningkatan juga terjadi pada konsumsi ikan masyarakat Indonesia dari 37,2 kg per kapita tahun 2014 menjadi 41,1 kg per kapita pada tahun 2015, dan 43,9 kg per kapita tahun 2016.

Pemerintah meningkatkan target konsumsi ikan menjadi 46 kg per kapita tahun 2017 dan 50 kg per kapita tahun 2019 mendatang.

Meski demikian, dia mengakui, pemberantasan illegal fishing belum berjalan secara sempurna. Sebab, hingga kini masih ada peristiwa pencurian ikan dengan modus yang berbeda-beda. Dia mencontohkan, masih seringnya terjadi modus penggunaan kapal dalam negeri tetapi mempekerjakan nelayan asing yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia.

Begitu pula dengan praktik bongkar muat di laut lepas oleh kapal-kapal asing yang terpantau melalui Global Fishing Watch.

"Jadi memang benar kalau ikan itu tidak beragama dan tidak berkebangsaan. Tetapi daerah teritorial EEZ (exclusive economic zone) telah ada di dalam UNCLOS (The United Nations Convention on The Law of The Sea) dan aturan umumnya. Jadi kalau ikan itu berada di laut kita dan di bawah EEZ kita, (ikan itu) hak milik kita," kata Susi.

Susi Bantah Matikan Industri Perikanan

Selain menjelaskan mengenai illegal fishing, Susi juga membantah jika kebijakan yang diterapkan KKP telah mematikan industri perikanan akibat pelarangan kapal-kapal eks-asing beroperasi.

"Kenapa? Karena kapal-kapal itu adalah kapal-kapal bukti alat kejahatan. Masa disuruh pakai jalan, ya tidak boleh," kata Susi.

Ia meminta seluruh pihak, termasuk pejabat pemerintahan untuk mendukung kebijakan yang dijalankan KKP. Pasalnya, selama ini, pemerintah Indonesia sudah cukup berbaik hati dengan hanya menyita kapal eks-asing tanpa menenggelamkannya.

"Yang jelas dan pasti, kedaulatan negara kita, kalau ikan ini berenang di EEZ Indonesia dan di teritorial Indonesia, itu milik kita. Dan siapa yang mencuri (ikan), (kapal) akan kita tenggelamkan," kata Susi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com