Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenapa Masih Ada Daerah Penghasil Migas yang Miskin?

Kompas.com - 11/07/2017, 06:33 WIB
Mikhael Gewati

Penulis

 


KOMPAS.com
– Tingkat perekonomian masyarakat di daerah penghasil minyak dan gas bumi (migas) secara logika, seharusnya berada pada taraf sejahtera. Namun, faktanya angka kemiskinan di beberapa daerah penghasil migas masih tinggi.

Seperti dimuat situs resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), saat ini ada 18 provinsi penghasil migas. Sayangnya, dari penelusuran Kompas.com ditemukan delapan provinsi yang presentasi angka kemiskinannya di atas rata-rata angka kemiskinan nasional yaitu 10,86 persen—data Badan Statistik Pusat (BPS) per September 2016.

Kedelapan daerah tersebut adalah Nanggroe Aceh Darussalam 16,43 persen, Sumatera Selatan Selatan 13,39 persen, Lampung 13,86 persen, Jawa Tengah 13,19 persen. Lalu Jawa Timur 11,85 persen, Sulawesi Tengah 12,77 persen, Maluku 19,26 persen, dan Papua Barat 24,88 persen.

Salah satu alasan mengapa angka kemiskinan di daerah penghasil migas masih tinggi ada pada strategi pengelolaan dana bagi hasil (DBH) migas.

Koordinator lembaga pemerhati energi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Miryanti Abdullah mengatakan, pola belanja di daerah penghasil migas belum berorientasi pada belanja sosial untuk penanggulangan kemiskinan.

“Saat peak production, banyak daerah penghasil migas yang terjebak untuk menghabiskan pendapatan dengan belanja proyek berorientasi mercusuar, pembangunan fisik dan bersifat jangka pendek,“ ujar Miryanti saat dihubungi Kompas.com, Selasa (4/7/2017).

Sebaliknya, lanjut dia, kapasitas belanja sosial untuk pendidikan, kesehatan dan penanggulangan kemiskinan justru minim.

Masalah lain, menurut Miryanti, beberapa daerah penghasil migas sangat menggantungkan anggaran pendapatan daerahnya dari penghasilan migas. Padahal harga komoditas ini naik-turun. Jadi bila harga anjlok maka daerah akan kehilangan sumber pendapatan, termasuk untuk belanja pelayanan publik dan penanggulangan kemiskinan.

Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Miryanti AbdullahFacebook @PublishWhatYouPayIndonesia Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Miryanti Abdullah

Kata dia, kondisi itu terjadi karena beberapa daerah tersebut tidak melakukan diversifikasi pengembangan ekonomi lokal lain. Mereka hanya fokus mengembangkan ekonomi untuk menopang keberlangsungan industri migas.

“Padahal seharusnya orientasi pembangunan tetap seimbang antara migas dan non-migas seperti sektor pertanian, pangan dan pariwisata,” kata dia.

Faktor selanjutnya ada pada tata kelola keuangan daerah yang kurang transparan dan akuntabel. Menurut Miryanti masalah ini menjadi serius karena daerah kaya migas memiliki kapasitas fiskal atau pendapatan yang tinggi sehingga rawan terjadi adanya korupsi.

Lalu, pertanyaannya kini seberapa besar daerah mendapatkan DBH migas?

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, DBH dari minyak bumi adalah 84,5 persen untuk pusat dan 15,5 persen untuk daerah.

Dari 15,5 persen itu, sebanyak 0,5 persen dialokasikan untuk anggaran pendidikan dasar di daerah penghasil. Sisanya, 15 persen dibagi dengan rincian 3 persen untuk provinsi, 6 persen kabupaten kita penghasil, dan 6 persen untuk kabupaten lain dalam provinsi yang bersangkutan.

Sementara itu, porsi penerimaan gas bumi adalah 69,5 persen untuk pusat dan 30,5 persen buat daerah. Besaran untuk daerah tersebut kemudian dibagi 0,5 persen untuk anggaran pendidikan dasar daerah penghasil, 6 persen provinsi terkait, 12 persen kabaputen/kota penghasil, dan 12 persen buat kabupaten/kota lain di provinsi tersebut.

Mengelola DBH dengan cermat

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com