Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Sri Mulyani dan Kredibilitas Anggaran yang Tercoreng

Kompas.com - 11/07/2017, 07:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAprillia Ika

Itu terbukti dari penyaluran kredit yang hingga Maret 2017 hanya tumbuh 9 persen secara tahunan (year on year/yoy). Dengan kinerja korporasi yang masih lemah, pajak yang mereka setor pun sulit meningkat.

Terlebih, pendekatan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak lebih cenderung mengejar dan menekan para wajib pajak eksisting ketimbang mereformulasi aturan pajak atau membereskan sumber utama kebocoran penerimaan negara terutama dari barang-barang selundupan yang membanjiri negeri ini.

Dengan situasi seperti itu, shortfall pajak seperti tahun 2016 pun kembali membayangi anggaran negara 2017. Dan ternyata, potensi shortfall memang ada.

Dalam pembahasan APBN-P 2017, pemerintah memperkirakan terjadi shorfall penerimaan perpajakan sekitar Rp 48 triliun. Alhasil target perpajakan pun direvisi turun, dari Rp 1.499 triliun menjadi Rp 1.451 triliun.

Potensi shortfall pajak tahun 2017 memang lebih kecil dibandingkan tahun 2016. Namun bukan itu persoalannya. Yang menjadi masalah adalah mengapa dalam penyusunan APBN 2017, Sri Mulyani dan pemerintahan Presiden Jokowi tidak belajar dari pengalaman dua tahun terakhir?

Selama pemerintahan Jokowi, selalu terjadi shortfall pajak cukup besar. Pada pemerintahan sebelumnya, shortfall pajak umumnya tidak banyak dan dapat dikatakan terjadi semata karena faktor alamiah terkait teknis penetapan target yang memang harus bersifat progresif untuk memacu kinerja pemerintah.

Namun dalam pemerintahan Jokowi, shortfall pajak bukan hanya karena faktor alamiah, tetapi juga akibat perencanaan anggaran yang kurang kompeten. 

Jadi pertanyaannya, mengapa Sri juga ikut-ikutan tidak kredibel saat menyusun APBN 2017? Sesuatu yang dulu disindirnya kini seolah menimpa dirinya sendiri.

(Baca juga: Saat Petugas Pajak Berburu di Kebun Binatang)

Defisit dan utang

Bahkan tidak kredibelnya APBN 2017 membawa dampak yang lebih serius. Akibat shortfall pajak tahun 2017, defisit anggaran dan utang pemerintah membengkak.

Itu terjadi karena shortfall pajak tidak diikuti oleh pemangkasan belanja, seperti yang dilakukan pada 2016.

Pada Rancangan APBN-P 2017, pagu belanja negara justru dinaikkan dari Rp 2.080 triliun menjadi Rp 2.111 triliun.

Dampaknya defisit anggaran akan naik menjadi Rp 397 triliun dari sebelumnya Rp 330 triliun. Ini berarti defisit akan mencapai 2,92 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), atau hampir menyentuh batas maksimal defisit anggaran yang diperbolehkan yakni 3 persen dari PDB.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN, APBD, serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pada Pasal 4 (1) menyebutkan, jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi tidak melebihi 3 persen dari PDB tahun bersangkutan.

Konsekuensi lanjutan dari pelebaran defisit tersebut adalah membengkaknya utang pemerintah.

Bila dalam APBN 2017, utang baru pemerintah dipatok sebesar Rp 384,7 triliun, maka akibat pembengkakan defisit anggaran, utang baru akan bertambah menjadi Rp 451,7 triliun.

Jika anggaran utang tersebut terealisasi, maka pada akhir 2017, outstanding utang pemerintah akan mencapai Rp 3.962,86 triliun.

Hingga akhir Mei 2017, utang pemerintah telah mencapai Rp 3.672,33 triliun. Rinciannya Rp 2.163,55 triliun dalam denominasi rupiah dan Rp 780,18 triliun dalam valuta asing (valas).

Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, atau dalam kurun 2015 sampai saat ini, pemerintah pusat telah menambah utang baru senilai Rp Rp 1.063,55 triliun.

Penambahan utang selama kurang lebih 2,5 tahun pemerintahan Jokowi tersebut sudah lebih besar dibandingkan penambahan utang periode 2010 – 2014 yang sebesar Rp 932 triliun.

Dalam catatan di laman Facebook pribadinya yang diunggah Jumat pekan lalu, Sri mencoba menjelaskan persoalan defisit dan utang ini.

"Saat ini rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih berada di bawah 30 persen dan defisit APBN pada kisaran 2,5 persen. Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan negara G-20 lainnya. Dengan defisit di kisaran 2,5 persen, Indonesia mampu tumbuh ekonominya di atas 5 persen, artinya stimulus fiskal mampu meningkatkan perekonomian sehingga utang tersebut menghasilkan kegiatan produktif. Dengan kata lain, Indonesia tetap mengelola utang secara prudent (hati-hati)," katanya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com