Menurut Sri, Presiden Joko Widodo tengah menggelontorkan anggaran besar untuk membangun infrastruktur di Indonesia. Ini merupakan upaya pemerintahannya untuk mengejar ketinggalan pembangunan.
Lambatnya pembangunan memberi beban pada rakyat dan ekonomi dalam bentuk kemacetan, biaya ekonomi tinggi, dan ekonomi daerah tertinggal. Peran pemerintah sangat penting dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi negeri.
Ketimpangan antara si miskin dan si kaya membutuhkan peran pemerintah untuk meningkatkan belanja sosial, yang tujuannya untuk melindungi kelompok termiskin agar tidak makin tertinggal.
Kurang efisien
Dilihat dari rasionya terhadap PDB, utang pemerintah memang masih terkendali dan bahkan lebih baik dibandingkan banyak negara lainnya. Penambahan utang untuk pembangunan infrastruktur demi kesejahteraan rakyat, tentu sangat baik.
Namun, juga perlu diingat bahwa efisiensi investasi untuk mendorong pertumbuhan di Indonesia cenderung makin rendah. Itu terlihat dari nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia yang makin tinggi, yang disebut-sebut sejumlah ekonom kini sudah mencapai angka 6, lebih tinggi dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 5,3.
Ini berarti, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi atau output sebesar 1 unit kini dibutuhkan penambahan investasi sebanyak 6 unit.
Banyak faktor yang menyebabkan ICOR meningkat antara lain strategi pembangunan yang kurang tepat dan korupsi.
Dengan ICOR yang rendah tersebut, maka semakin banyak berutang, semakin banyak pula dana yang tidak termanfaatkan secara efisien alias bocor.
Jadi, sebelum berutang secara besar-besaran, akan lebih baik bila pemerintah menurunkan angka ICOR terlebih dahulu agar utang tidak banyak yang sia-sia.
(Baca juga: Sri Mulyani dan Luka Lama yang Terkoyak)
Untuk meningkatkan efisiensi anggaran, apa yang pernah dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti patut dicontoh. Kebijakan anggaran ini merupakan bagian dari reformasi birokrasi di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dikenal dengan sebutan Susinisasi.
Pertama, Menteri Susi menyederhanakan nomenklatur anggaran dengan porsi 80 persen untuk kepentingan pemangku kepentingan (stakeholder) seperti nelayan dan pelaku ekonomi perikanan lainnya. Sisanya 20 persen barulah untuk anggaran rutin KKP.
Kedua, Menteri Susi menghilangkan program-program yang menggunakan kata bersayap, tidak jelas, dan rancu misalnya pengembangan, peningkatan, pemberdayaan.
Ketiga, dengan langkah-langkah tersebut, Susi bisa memotong anggaran KKP pada 2016 sebesar Rp 5,5 triliun atau 42 persen dari anggaran awal Rp 13,9 triliun.
Keempat, Susi menolak segala tawaran utang luar negeri seperti dari World Bank atau IMF yang hanya boleh digunakan untuk peningkatan dan pemberdayaan. Menteri Susi hanya ingin menerima utang yang bisa dipakai untuk investasi atau membeli aset.
"Kalau mau, sebenarnya anggaran negara bisa dipotong lebih dari 40 persen. Di KKP saja bisa kok. Jadi buat apa saya menerima tawaran utang dari luar negeri, lah anggaran KKP saja saya potong," kata menteri yang banyak melakukan terobosan di sektor perikanan ini kepada Kompas.com beberapa waktu lalu.
Bagaimana Bu Sri? Mungkin ngopi-ngopi dengan Bu Susi bisa memberikan banyak pencerahan...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.