Namun demikian, sejak awal 2018, rupiah trus melemah. Jadi, apa sebenarnya penyebab terdepresiasinya rupiah terhadap dolar?
Pada akhir pekan 6 Juni 2018, rupiah ditutup pada level 14.370 yang secara year to date melemah 5,58 persen. Yang membedakan dengan Thailand ( kurang dari 2 persen) dan Malaysia (menguat 0,1 persen) adalah adanya defisit transaksi berjalan yang besar di negara kita.
Defisit ini adalah selisih dari impor kita yang lebih besar daripada ekspor. Dalam triwulan pertama, Indonesia mengalami defisit sekitar 2,2 persen dari PDB. Sebagai pembanding, Malaysia surplus 3,2 persen dan Thailand surplus 10,2 persen.
Namun demikian, Australia juga mengalami defisit transaksi berjalan, namun tidak berdampak besar. Apa yang membedakan?
Perbedaan yang terlihat adalah adanya investasi langsung (Foreign Direct Investment/FDI) yang cukup besar. Sementara investasi yang masuk ke Indonesia kebanyakan berupa penanaman modal pada portfolio sehinga bisa pergi sewaktu-waktu menuju gula yang lebih banyak.
Langkah pemerintah
Apakah pemerintah diam saja dan membiarkan hal ini? Tentu tidak.
Berbagai upaya kemudahan dalam memulai bisnis bagi investor asing telah dilakukan. Indonesia telah dianggap sebagai top 10 reformer sebagai negara terbaik di dunia yang melakukan reformasi “Ease of Doing Business”.
Dalam beberapa waktu ke depan, Presiden juga telah mencanangkan reformasi besar-besaran dalam perizinan melalui Online Single Submission (OSS). Perizinan yang terintegrasi secara elektronik ini diharapkan dapat memangkas perizinan yang rumit, lambat, tersebar di berbagai unit kerja sehingga menjadi lebih cepat dan ringkas.
Sistem ini diharapkan juga dapat terintegrasi sampai ke tingkat pemerintah daerah. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan investasi langsung dan dapat berkesinambungan dengan kebijakan pemerintah yang telah memberikan insentif pajak kepada pengusaha dengan nilai investasi yang besar.
Lalu bagaimana mengatasi gejolak defisit neraca perdagangan?
Pemerintah telah memikirkan untuk meningkatkan penerimaan devisa melalui sektor pariwisata dan peningkatan ekspor pada produk tertentu serta mengendalikan impor barang konsumsi.
Destinasi wisata unggulan terus dipacu untuk menggenjot devisa. Menjelang ajang Tertemuan Tahunan Bank Dunia dan IMF di Bali, beberapa infrastruktur destinasi wisata diperbaiki dan dipercantik.
Dari sisi impor, beberapa bulan terakhir, impor paling besar tercatat pada sektor bahan bakar dan barang modal. Di sinilah perlunya peningkatan penggunaan bio fuel seperti produk turunan kelapa sawit sebagai pengganti energi tak terbarukan.
Situasi ini juga bisa dianggap sebagai blessing, di tengah larangan ekspor di Eropa, pemerintah dapat meningkatkan pemakaian produk kelapa sawit untuk kepentingan di dalam negeri.