Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Akan Meratifikasi Tujuh Perjanjian Perdagangan Internasional

Kompas.com - 07/11/2018, 22:16 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita ,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah memutuskan segera menyelesaikan proses ratifikasi tujuh Perjanjian Perdagangan Internasional (PPI). Penetapan ratifikasi ini akan ditetapkan melalui Peraturan Presiden, setelah secara bertahap telah disampaikan ke DPR sekitar dua bulan lalu.

Keputusan tersebut merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Pasal 84 ayat 4 yang mengatur tentang ratifikasi PPI, Jika DPR tidak mengambil keputusan dalam waktu paling lama 60 hari kerja pada masa sidang, maka pemerintah dapat memutuskan perlu atau tidaknya persetujuan DPR.

“Jadi kita putuskan dalam rakor ini untuk meratifikasi 7 PPI dengan mempertimbangkan UU Perdagangan tentang Pengaturan Ratifikasi PPI. Keputusan ini juga diambil mengingat pentingnya penandatanganan perjanjian-perjanjian tersebut," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution saat memimpin Rapat Koordinasi Penyelesaian Ratifikasi PPI Indonesia, Rabu (7/11/2018).

Baca juga: Kemudahan Berusaha Indonesia Turun, Darmin Sebut Perlu Reformasi Mendasar

Darmin mengatakan, dalam waktu dekat dirinya akan melapor ke Presiden Joko Widodo dengan membawa draft Peraturan Presiden yang sudah siap. Adapun rincian tujuh PPI yang telah disampaikan pemerintah kepada DPR sebagai berikut:

1. First Protocol to Amend the AANZFTA Agreement, sudah disampaikan kepada DPR pada tanggal 5  Maret 2015.

2. Agreement on Trade in Services under the ASEAN-India FTA (AITISA), sudah disampaikan kepada DPR pada tanggal 08 April 2015.

3. Third Protocol to Amend the Agreement on Trade in Goods under ASEAN-Korea FTA (AKFTA), sudah disampaikan kepada DPR pada tanggal 02 Maret 2016.

4. Protocol to Amend the Framework Agreement under ASEAN-China FTA (ACFTA), sudah disampaikan kepada DPR pada tanggal 02 Maret 2016.

5. ASEAN Agreement on Medical Device Directive (AMDD), sudah disampaikan kepada DPR pada tanggal 22 Februari 2016.

6. Protocol to Implement the 9th ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS-9), sudah disampaikan kepada DPR pada tanggal 23 Mei 2016.

7. Protocol to Amend Indonesia-Pakistan PTA (IP-PTA), sudah disampaikan kepada DPR pada tanggal 30 April 2018.

Indonesia bisa rugi

Darmin mengatakan, ada beberapa potensi kerugian bila Indonesia tidak meratifikasi tujuh PPI tersebut. Pada perjanjian AANZFTA, akan ada dua kerugian, yaitu 11 parties akan menolak SKA versi lama sehingga produk Indonesia tidak dapat memanfaatkan preferensi tarif dalam AANZFTA.

Kedua, sejak AANZFTA berlaku, Indonesia termasuk beneficiary utama. Ekspor ke Australia yang menggunakan fasilitas AANZFTA mencapai 73,6 persen atau senilai 1,76 miliar dollar AS dari total ekspor ke Australia senilai 2,35 miliar dollar AS pada 2017.

Kemudian, pada perjanjian AITISA, Indonesia tidak dapat mengakses pasar tenaga profesional di sektor konstruksi, travel, komunikasi, jasa bisnis lainnya pada posisi high and middle management serta dan jasa rekreasi yang menjadi keunggulan Indonesia vis a vis India.

Tak hanya itu, Indonesia dapat disengketakan karena tidak menerapkan prinsip transparansi, tidak menurunkan biaya transaksi, dan tidak dapat memberikan kepastian kode HS yang dikomitmenkan sebagai hasil perundingan jika tidak meratifikasi perjanjian AKFTA.

Terkait AFAS 9, potensi kerugiannya adalah Indonesia tidak dapat mengakses pasar jasa ASEAN pada subsektor yang ditambahkan negara-negara ASEAN ke dalam AFAS.

Selain itu, Indonesia juga berpotensi disengketakan oleh anggota ASEAN lain yang memiliki kepentingan komersial. Sementara untuk perjanjian AMDD, jika Indonesia tidak meratifikasinya, maka produk ALKES Indonesia sulit

dipasarkan di ASEAN dan dunia karena AMDD mengatur standar, aturan teknis dan prosedur kesesuaian penilaian yang mengharmonisasikan standar ALKES di ASEAN sesuai standar internasional.

Selain itu, Indonesia dapat dikatakan tidak mendukung INPRES Nomor 6 tahun 2016 tentang Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Potensi kehilangan pasar ekspor ke ASEAN senilai 853 juta dollar AS untuk tahun 2017.

Untuk perjanjian ACFTA, ada tiga potensi kerugian jika Indonesia tidak meratifikasinya, yakni:

1. Goods: Indonesia dapat disengketakan karena tidak mempermudah ketentuan SKA, prosedur kepabeanan dan fasilitasi perdagangan sesuai kesepakatan.

2. Services: Indonesia tidak menikmati penambahan komitmen 5 subsektor jasa oleh RRT (medical & dental; engineering; travel agency & tour operator; nature & landscape protection; dan securities).

3. Investment: Mengurangi insentif investor RRT untuk berinvestasi di Indonesia karena Indonesia tidak menyederhanakan prosedur aplikasi dan persetujuan investasi, dan tidak dapat berpartisipasi dalam program promosi investasi ACFTA.

Terakhir, jika republik ini tidak meratifikasi IP-PTA, maka setidaknya akan ada lima potensi kerugian sebagai berikut:

1. Pakistan akan “terminate” PTA sehingga Indonesia akan kehilangan pangsa pasar CPO senilai 1,46 miliar dollar AS (2017) di Pakistan.

2. Pangsa pasar CPO akan direbut Malaysia yang saat ini sedang meng-up-grade bilateral FTA-nya (bukan sekadar PTA) dengan Pakistan.

3. Menghambat rencana bersama untuk up-grade IP-PTA menjadi IP-Trade in Goods Agreement.

4. Dalam berbagai skenario persetujuan (PTA, TIGA, FTA atau CEPA), Pakistan tidak mungkin menikmati surplus neraca perdagangan dengan Indonesia.

5. Total perdagangan dengan Pakistan 2017 2,63 miliar dollar AS yang terdiri dari ekspor 2,39 miliar dollar AS, impor 241,1 juta dollar AS, sehingga surplus bagi Indonesia 2,15 miliar dollar AS.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com