Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mahendra K Datu
Pekerja corporate research

Pekerja corporate research. Aktivitas penelitiannya mencakup Asia Tenggara. Sejak kembali ke tanah air pada 2003 setelah 10 tahun meninggalkan Indonesia, Mahendra mulai menekuni training korporat untuk bidang Sales, Marketing, Communication, Strategic Management, Competititve Inteligent, dan Negotiation, serta Personal Development.

Amayadori: Musim Gugur Paman Sam dan China

Kompas.com - 27/11/2018, 07:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI SUATU tempat di Jepang, pertengahan tahun 1980-an...

"Aku mencintaimu, tetapi kita berdua memiliki mimpi kita masing-masing untuk digapai. Bertemu kembali denganmu adalah sesuatu yang menakjubkan, rasanya seperti kita berdua yang berteduh dari hujan... Amayadori suru yoo ni futari."

Mayumi Itsuwa, kini usianya 67 tahun, banyak dikenal para Baby-boomers di era tahun 1980-an lewat lagunya Kokoro No Tomo dan Amayadori.Amayadori... sebuah lagu biasa, enak didengar, syahdu iramanya. Tapi benak saya pergi jauh melampaui iramanya. Saya camkan bait-baitnya. Dan, saya jadi ingat perseteruan dagang Amerika dan China saat ini.

Dua tahun lalu, 8 November 2016, saya bersama seorang kolega nongkrong di pelataran gedung New York Stock Exchange (NYSE) di Wall Street. Hari itu adalah hari penting untuk bangsa Amerika: pemilihan presiden!

Kami kepo, apa yang akan terjadi pada Indeks Dow Jones atau Nasdaq di hari pemilihan presiden Amerika hari itu?

Pagi sampai siang, Manhattan selatan terbilang sepi, mungkin sebagian memilih tinggal di rumah dan menonton TV. Kami memilih keluar dan menonton langsung dari kasino terbesar di dunia itu untuk cari tahu apakah ada banyak kisah yang bisa kami bawa pulang dan bagikan ke teman-teman di Indonesia.

Rumor yang beredar adalah bahwa Hillary Clinton akan menang, meski unggul tipis. Tak dinyana, masyarakat Amerika memilih satunya. Yang saya ingat, sehari dua hari setelahnya, pasar saham terjun bebas. Nah, benar kan, orang-orang lebih menginginkan Hillary Clinton yang menang.

Namun, sekitar dua minggu kemudian, Dow Jones mencetak rekor-rekor baru setiap hari, pertama dalam sejarah Amerika. Amerika seperti burung Phoenix yang bangkit dari abu kematiannya!

Make something great again

Saya bukanlah ahli politik internasional. Saya hanyalah orang yang tenggelam terlalu lama di dunia korporat yang setiap hari was-was akan apa yang bakal terjadi di negeri kita ini bila ada beberapa gajah bengkak berkelahi.

Tetapi memikirkan kemenangan Donald Trump, saya termenung, keajaiban apa yang membuatnya menang? Saat Donald Trump akhirnya berhasil membawa secuil Amerika menjadi "great again", seperti mottonya saat kampanye, saya menyadari bahwa bukanlah kata "great" yang jadi mantranya, melainkan "again".

Ada kerinduan akan kejayaan masa lampau di kalangan masyarakat Amerika yang daya saing ekonominya digerogoti Jepang (1980-1990-an), digerogoti Uni Eropa (1990-2000-an), dan dikeroyok China, India serta Korea Selatan sepuluh tahun terakhir ini.

Donald Trump dilihat lebih bernyali mewujudkan kejayaan masa lampau dengan bikin musuh: dengan Meksiko soal imigran, dengan Korea Utara soal nuklir, dengan Rusia soal cyber-interference, dan terakhir perang dagang dengan China.

Program pemerintah China "Made in China 2025 Innitiative" yang akan mengapitalisasi kemajuan teknologi produksi di ribuan pabrik raksasa di China dianggap sebagai ancaman bagi superioritas ekonomi Amerika.

Dari Januari hingga akhir September 2018 ini saja, defisit neraca perdagangan antara Amerika dan China sudah mencapai lebih dari 300 miliar dollar AS. Minus di Amerika, surplus di China.

Amerika tak terima. Angka itu terlalu fantastis untuk disebut fair-play. Dengan nyali sebesar 20 triliun dollar AS (GDP Amerika saat ini), Trump memulai sebuah perang dagang yang berpotensi menghilangkan pemasukan bagi China dari ekspornya ke Amerika kira-kira sebesar 250 miliar dollar melalui instrumen tarrif yang akan dinaikkan hingga 25 persen pada akhir tahun ini.

Tak mau kalah, dengan otot sebesar 14 triliun dollar (GDP China saat ini) dan spirit "Made in China 2025 Innitiative", Presiden Xi Jinping menjawab tantangan Trump dengan tit-for-tat, reciprocal, menjiplak kebijakan Trump, diarahkan ke barang-barang Amerika yang diekspor masuk ke China.

Trump bersikukuh dengan "America First!" di saat pemerintah dan swasta China sedang gencar-gencarnya mengampanyekan "Are You China-Ready?" untuk membuka ekonominya bagi investor luar.

Amerika mungkin "China-ready", tetapi Trump tidak. Tekanan banyak datang dari Amerika sendiri. Banyak perusahaan raksasa Amerika yang memercayakan proses produksi atau manufakturnya ke ribuan pabrik di China, dan itu berarti Amerika akan membeli balik barang-barangnya sendiri yang diproduksi di China dengan tarif lebih mahal.

Dan lucunya, hingga saat ini malah makin mirip sebuah drama status quo yang kita nikmati. Tampaknya China pun sudah mulai kewalahan. Bagaimanapun juga, pasar Amerika terlalu besar untuk diabaikan. Seperti saat perang dingin, tak ada satu pun yang berani nekat menekan tombol bom atom perekonomian.

Dalam kunjungan saya ke Silicon Valley beberapa bulan lalu, tampak tak ada yang terlalu peduli dengan perang dagang ini. Di beberapa perusahaan yang kami kunjungi, isinya jenius-jenius dari India, China, Eropa Timur. Oh ya, ada beberapa anak muda Indonesia juga.

Sulit membayangkan bila puluhan ribu imigran cerdas yang berkarya di Silicon Valley juga harus pulang kampung karena perang dagang sudah berubah jadi spirit "America First" dan puluhan lembah silikon baru "terpaksa terus bermekaran" di pesisir China dari Shanghai, Hanzhou, Guangzhou, hingga Shenzhen. Sementara itu, Bangalore dan Hyderabad memanggil pulang putra-putri terbaik India dari Silicon Valley. Apa yang tersisa di Amerika?

Di era kolaborasi seperti saat ini, perang dagang antara Amerika dan China rasanya sudah tak relevan lagi. Seperti Amayadori, tempat berteduh dari hujan, Amerika dan China tetap perlu tempat berteduh bersama tujuh miliar lebih penduduk bumi.

Dan, masih seperti Amayadori, mungkin saja masing-masing punya impiannya sendiri-sendiri, tapi saat hujan hanya ada satu tempat berteduh.

Barangkali, Trump dan Xi sama-sama masygul, ragu, bukan takut terhadap satu sama lain, tetapi takut bahwa tindakan mereka akan menghilangkan makna kebersamaan yang sudah dibangun bersama tujuh miliar penduduk dunia yang berjanji akan saling menjaga.

Bila pun dunia ini menderita karena perseteruan mereka, biarlah suatu hari di masa depan mereka mengingatnya kembali.

"... bahwa pada saat itu kita berpisah memang benar. Sekarang kita dapat memaafkan satu sama lain. Kita hanya terlalu muda saat itu... Tada amari ni wakasugita dakedato futari, tagai ni yurushi aeru... Amayadori."

Alegori yang manis.

Dan, semoga musim gugur kali ini tak kalah indahnya dengan musim semi mendatang. Seperti manusia-manusia korporat lainnya, saya pun hanya bisa berharap dan berdoa. Spring is coming!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com