Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menilik Besarnya Anggaran Riset Malaysia...

Kompas.com - 01/03/2019, 09:31 WIB
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar International Islamic University Malaysia (IIUM) Erry Yulian Adesta mengungkapkan pemerintah Malaysia sangat serius dalam menggarap anggaran riset dan pengembangan (research and development/R&D).

Saat ini, anggaran riset dan pengembangan Malaysia mencapai 400 juta ringgit.

Menurutnya, anggaran riset dan pengembangan ini menjadi salah satu penyebab melorotnya peringkat universitas-universitas di Indonesia. Berdasarkan QS World University Ranking 2018, tiga universitas ternama di Indonesia masuk 500 terbaik di dunia yaitu Universitas Indonesia (UI) di posisi 292, Institut Teknologi Bandung (ITB) di peringkat 359 dan Universitas Gadjah Mada (UGM) berada di 391.

Pada 2017, UI menduduki peringkat 277 dunia, ITB berada di 331. Sementara, UGM malah mengalami kinerja positif dari posisi 410 di tahun sebelumnya.

Baca juga: Akademisi Sebut Anggaran Riset RI Harus Ditingkatkan

“Dari angka 400 juta ringgit, 30 juta ringgit untuk menjalin riset dengan industri dan pihak internasional. Dana yang dialokasikan itu harus mampu dikelola dengan prinsip dan luaran yang jelas dan terukur serta memiliki dampak. Bukan sekedar ritual melakukan riset sekedar mengisi Beban Kerja Dosen (BKD) seperti yang terjadi saat ini. Dana riset yang kita miliki sudahlah terbatas penggunaannya pun serampangan tidak jelas inginnya apa,” ujar Erry dalam pernyataannya, Jumat (1/3/2019).

Di Malaysia, lanjut Erry, penggunaan dana riset dan pengembangan bisa dipantau melalui aplikasi bernama MyGrants. Sehingga, penggunaan dananya bisa efektif dan efisien.

“Malaysia punya instrumen yang jelas dan terukur. Hampir tidak ada yang abu-abu sehingga anggaran riset bisa efektif dan juga efisien,” sebut dia.

Baca juga: Jokowi Ingin Unicorn Bertambah, Menkeu Siapkan Dana Abadi Riset

Sementara itu, Ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan anggaran riset dan pengembangan masih relatif kecil, hanya sebesar 0,03 persen. Untuk mengejar ketertinggalan, pemerintah harus meningkatkan anggaran riset dan pengembangan sebesar dua persen dari PDB.

“Di Indonesia penggunaan dana riset masih terfragmentasi, tersebar lintas kementerian dan dampaknya kecil terhadap perekonomian. Solusinya adalah integrasi belanja penelitian di lintas sektoral pemerintah dibawah lembaga dana abadi penelitian atau LPDP,” ujar Bhima.

Sejak 2012, LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) tak hanya mengelola dana beasiswa pendidikan S2 sampai S3, tapi jauh dari itu juga mengalokasikan dana untuk riset inovatif produktif (RISPRO).  Total dana yang dikelola LPDP mencapai Rp 55 triliun.

Baca juga: Indonesia Kerja Sama Riset Vaksin dengan Yayasan Bill Gates

Sebelumnya, anggaran riset dan pengembangan ini sempat menjadi sorotan saat CEO Bukalapak Achmad Zaky mengemukakannya di laman media sosial. Menurutnya, peningkatan anggaran riset dan pengembangan sangat diperlukan untuk membuat Indonesia siap menghadapi revolusi industri 4.0

Zaky mengatakan, pada prinsipnya ia sangat memperhatikan kemajuan industri teknologi di Indonesia. Ia berharap semua pihak terlibat dalam investasi di bidang riset dan SDM secara berkelanjutan demi mendorong percepatan kemajuan bangsa di segala bidang.

Bhima mengungkapkan, angka Rp 55 triliun masih perlu ditambah untuk kejar ketertinggalan riset dan pengembangan dengan negara lain. LPDP membutuh anggaran setidaknya Rp 296 triliun untuk meningkatkan anggaran riset dan pengembangan hingga 2 persen.

“Dikurangi angka yang ada saat ini maka total tambahan anggaran LPDP idealnya Rp 241 triliun,” jelas Bhima.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com