Koperasi venture builder semacam ini dengan sendirinya berbentuk holding koperasi. Yakni koperasi yang memiliki banyak anak usaha. Anak-anak usaha di bawahnya bisa berbadan usaha/ hukum sesuai kebutuhan.
Inilah skema bagaimana mengolaborasikan berbagai anak usaha dalam satu perusahaan payung. Tujuannya agar anak-anak usaha dikelola secara profesional. Yang awalnya by necessity bergeser menjadi by opportunity. Koperasi melalui manajemennya mengelola anak-anak usaha itu dengan standar manajemen dan operasional tertentu. Jadilah setiap anak usaha tumbuh.
Builder, worker dan investor masing-masing memperoleh bagi hasil atau dividen. Begitu juga dengan Pengurus/ Pengelola koperasi. Dengan cara begitu para pihak termotivasi. Visi koperasi semacam ini yakni menjadi holding koperasi yang menguntungkan para pihak dengan jalan membangun usaha rakyat yang profesional, tumbuh dan berkelanjutan.
Baca juga: Gaji Anggota Polri Naik, Ini Besarannya
Basic Income
Dalam membangun anak-anak usaha, venture builder coop memobilisasi modal dari para member investor. Dan setiap orang bisa menjadi investor.
Caranya mudah, yakni dengan memecah nominal sertifikat modal koperasi menjadi kecil-kecil, misalnya Rp 50.000 per lembar sertifikat. Maka, seorang tukang becak bisa ikut berinvestasi dalam anak usaha, bengkel motor, misalnya.
Worker yang bekerja di anak usaha juga bisa berinvestasi pada anak usaha lainnya. Ia karyawan bengkel koperasi, di saat bersamaan ia bisa berinvestasi di anak usaha barbershop, misalnya.
Cara yang sama dapat dilakukan pada berbagai anak usaha. Hasilnya, semua orang bisa memperoleh bagi hasil pada beberapa anak usaha sekaligus. Misalnya dari bengkel ia peroleh Rp 100.000 tiap bulan, dari salon Rp 250.000, dari angkringan Rp 50.000. Kecil-kecil, namun dari beberapa anak usaha sekaligus.
Dengan memecah investasi pada beberapa anak usaha tujuannya juga untuk membagi risiko. Bila satu anak usaha gagal, masih ada tiga atau empat sumber dividen lainnya.
Bayangkan bila venture builder coop itu dikembangkan secara massif di Indonesia, universal basic income menjadi masuk akal bagi banyak orang. Sebabnya, karena semua orang bisa menjadi pemilik perusahaan. Kepemilikan bersama atau co-ownership inilah yang tak pernah hadir pada mekanisme pasar saat ini. Sehingga pasar selalu bekerja secara trickle up atawa muncrat ke atas, bukannya trickle down, menetes ke bawah.
Tahun 2016 lalu Josep C. Stiglitz melihat koperasi sebagai instrumen yang tepat untuk ciptakan trickle down effect. Bagaimana membuat kue ekonomi bisa diredistribusi ke banyak pihak. Bukan hanya kepada shareholder perseroan yang jumlahnya terbatas, namun pada banyak orang.
Gagasan koperasi mengoperasionalkan universal basic income ternyata juga sudah lama digaungkan oleh para aktivis sosial. Sebutlah Michael Howard dalam papernya bertahun 1998 yang menyinggung bahwa Demokrasi Ekonomi bukan saja soal pengambilan keputusan di tempat kerja.
Namun juga soal sosialisasi dan demokratisasi dana investasi. Akses demokratis terhadap peluang investasi di berbagai perusahaan itu akan menuju pada sosialisasi dan demokratisasi berbagai perusahaan.
Saat ini saya dan teman-teman sedang membangun koperasi seperti itu. Agar basic income itu bisa dirasakan banyak orang. Tak lagi bergantung pada active income semata, melainkan passive income bulanan. Agar orang-orang tak hanya peroleh gaji atau upah, tapi juga dividen. Agar banyak orang itu lebih meningkat kualitas hidupnya dan tak melulu berjibaku “mencari uang”.
Itulah model universal basic income ala koperasi. Masuk akal, bukan?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.