SAAT ini wacana Universal Basic Income (UBI) makin santer gaungnya. Sejauh ini beberapa negera maju masih dalam tahap uji coba implementasi unconditional universal basic income dalam skala terbatas.
Konsepnya sederhana, yakni transfer sosial yang diberikan negara kepada seluruh warganya tanpa syarat (unconditional) tertentu. Tujuannya tentu saja untuk meningkatkan kesejahteraan warga, terbebas dari jerat kebutuhan dasar dan alhasil meningkatnya kualitas hidup mereka.
Tahun 2017 Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyatakan sedang mengkaji kemungkinan uji coba UBI di Indonesia. Bila dirata-rata kebutuhan paling dasar saban orang mencapai Rp 2-2,5 juta per bulan, kalikan dengan total penduduk. Hasilnya sekian ratus triliun dana APBN dibutuhkan untuk menyangga semuanya.
Amerika masih berhitung untuk menguji cobanya, mereka bilang sangat costly. Finlandia, Jerman, India, Namibia dan negara lain mulai mencari modelnya.
Baca juga: Dongkrak Penetrasi UMi, Sri Mulyani Minta Penyalur Besarkan Koperasi
Menariknya, gravitasi isu UBI selalu berada dalam koridor negara, yang adalah derivasi dari program negara kesejahteraan (welfare state).
Di Indonesia, boleh jadi implementasi skema UBI butuh beberapa dekade mendatang dengan memperhatikan kompleksitas negara: birokrasi yang lamban, political will, peraturan pendukung dan lain sebagainya.
Lantas, mungkinkah mendorong realisasi UBI melalui domain yang lain: pasar atau komunitas?
Menimbang pasar
Pasar Indonesia sangat besar dengan capaian Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2018 mencapai Rp 14.837 triliun. Bandingkan dengan APBN yang hanya mencapai Rp 2.221 triliun atau satu pertujuh PDB.
Menjadi masuk akal bila mendorong implementasi UBI melalui domain pasar alih-alih negara. Itu sama dengan bagaimana mengupayakan pasar secara langsung bekerja secara redistributif kepada masyarakat.
Sayangnya, pasar bekerja secara liberal. Postulatnya adalah memperbesar laba dan mengefisiensikan biaya. Negara lalu hadir dengan meregulasinya.
Skema redistribusi diciptakan melalui berbagai cara: pajak, corporate social responsibility, pemilikan saham oleh karyawan (ESOP) dan instrumen lainnya. Kenyataannya, beberapa instrumen seperti itu dinilai tidak populis.
Satu contoh Rancangan Undang-undang CSR pada tahun 2017 lalu ditolak oleh belasan asosiasi perusahaan/ pengusaha. Kilahnya sederhana, menambah beban perusahaan. Akan sulit lagi untuk mendorong skema yang lebih radikal seperti UU Pemilikan Saham oleh Karyawan.
Singkatnya, sulit untuk mengharapkan negara dan pasar bekerja dalam agenda pemerataan ekonomi pada struktur politik yang oligarkis seperti sekarang ini. Di mana sebagian besar elit politik adalah juga pemilik korporasi besar di republik ini.
Baca juga: Menaker: Koperasi Tingkatkan Kesejahteraan Pekerja
Menilik UMKM