Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Putra, HC
Komite Eksekutif ICCI

Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

Universal Basic Income Ala Koperasi

Kompas.com - 19/03/2019, 07:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAAT ini wacana Universal Basic Income (UBI) makin santer gaungnya. Sejauh ini beberapa negera maju masih dalam tahap uji coba implementasi unconditional universal basic income dalam skala terbatas.

Konsepnya sederhana, yakni transfer sosial yang diberikan negara kepada seluruh warganya tanpa syarat (unconditional) tertentu. Tujuannya tentu saja untuk meningkatkan kesejahteraan warga, terbebas dari jerat kebutuhan dasar dan alhasil meningkatnya kualitas hidup mereka.

Tahun 2017 Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyatakan sedang mengkaji kemungkinan uji coba UBI di Indonesia. Bila dirata-rata kebutuhan paling dasar saban orang mencapai Rp 2-2,5 juta per bulan, kalikan dengan total penduduk. Hasilnya sekian ratus triliun dana APBN dibutuhkan untuk menyangga semuanya.

Amerika masih berhitung untuk menguji cobanya, mereka bilang sangat costly. Finlandia, Jerman, India, Namibia dan negara lain mulai mencari modelnya.

Baca juga: Dongkrak Penetrasi UMi, Sri Mulyani Minta Penyalur Besarkan Koperasi

Menariknya, gravitasi isu UBI selalu berada dalam koridor negara, yang adalah derivasi dari program negara kesejahteraan (welfare state).

Di Indonesia, boleh jadi implementasi skema UBI butuh beberapa dekade mendatang dengan memperhatikan kompleksitas negara: birokrasi yang lamban, political will, peraturan pendukung dan lain sebagainya.

Lantas, mungkinkah mendorong realisasi UBI melalui domain yang lain: pasar atau komunitas?

Menimbang pasar

Pasar Indonesia sangat besar dengan capaian Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2018 mencapai Rp 14.837 triliun. Bandingkan dengan APBN yang hanya mencapai Rp 2.221 triliun atau satu pertujuh PDB.

Menjadi masuk akal bila mendorong implementasi UBI melalui domain pasar alih-alih negara. Itu sama dengan bagaimana mengupayakan pasar secara langsung bekerja secara redistributif kepada masyarakat.

Sayangnya, pasar bekerja secara liberal. Postulatnya adalah memperbesar laba dan mengefisiensikan biaya. Negara lalu hadir dengan meregulasinya.

Skema redistribusi diciptakan melalui berbagai cara: pajak, corporate social responsibility, pemilikan saham oleh karyawan (ESOP) dan instrumen lainnya. Kenyataannya, beberapa instrumen seperti itu dinilai tidak populis.

Satu contoh Rancangan Undang-undang CSR pada tahun 2017 lalu ditolak oleh belasan asosiasi perusahaan/ pengusaha. Kilahnya sederhana, menambah beban perusahaan. Akan sulit lagi untuk mendorong skema yang lebih radikal seperti UU Pemilikan Saham oleh Karyawan.

Singkatnya, sulit untuk mengharapkan negara dan pasar bekerja dalam agenda pemerataan ekonomi pada struktur politik yang oligarkis seperti sekarang ini. Di mana sebagian besar elit politik adalah juga pemilik korporasi besar di republik ini.

Baca juga: Menaker: Koperasi Tingkatkan Kesejahteraan Pekerja

Menilik UMKM

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com