NEW YORK, KOMPAS.com - Perubahan iklim memberikan dampak serius terhadap pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia. Kondisi tersebut pun semakin buruk khususnya bagi negara-negara miskin yang sudah sulit mengejar ketertinggalan.
Dilansir dari CNN, Selasa (23/4/2019), hal tersebut berdasarkan studi terbaru yang dilakukan para peneliti dari Stanford University, AS. Studi tersebut dipublikasikan pada awal pekan ini pada Proceedings of the National Academy of Sciences.
Dua orang peneliti dari Stanford tersebut menciptakan model dampak pemanasan global pada setiap negara selama periode 50 tahun. Berdasarkan studi tersebut, negara-negara dengan iklim paling panas menderita kerugian ekonomi paling parah.
Baca juga: Tepis Anggapan Indonesia Negara Miskin, Sri Mulyani Beberkan Fakta Ini
Produk domestik bruto (PDB) per kapita India, misalnya, lebih rendah 31 persen pada tahun 2010. Adapun PDB per kapita Chad lebih rendah 39 persen, Venezuela 32 persen, dan Nigeria 29 persen.
Dalam kondisi absolut, banyak di antara negara-negara tersebut sebenarnya menggenjot perekonomian mereka secara signifikan dalam 50 tahun terakhir. Ini berdampak pada menurunnya ketimpangan dalam beberapa tahun terakhir.
Namun demikian, progres itu bisa berjalan lebih pesat apabila suhu tidak meningkat.
"(Kondisi) ini merepresentasikan beberapa tahun perkembangan ekonomi yang secara efektif telah tertunda," kata Noah Diffenbaugh dari Woods Institute for the Environment Stanford University, yang melakukan studi tersebut bersama rekannnya, Marshall Burke.
"Akan ada konvergensi yang lebih besar dan ketimpangan yang lebih kecil, apabila pemanasan global tidak terjadi," jelas dia.
Baca juga: Indonesia Incar Dukungan Negara Miskin di Pertemuan WTO
Laporan tersebut tidak menjelaskan secara rinci berapa besar peningkatan suhu telah menekan pertumbuhan ekonomi. Namun, riset lain telah menunjukkan bagaimana pemanasan suhu di atas rata-rata optimal tertentu, yakni sekira 13 derajat celcius, dapat membuat lahan pertanian mengering, fungsi kognitif menurun, produktivitas pekerja yang menurun pula, serta meningkatkan konflik interpersonal.
"Bagi saya ini mengonfirmasi tren yang kita lihat di banyak negara miskin," sebut Rebecca Carter, deputi direktur World Resources Institute.
Carter memberi contoh Kosta Rika, yang berdasarkan studi tersebut mengestimasikan PDB per kapita yang lebih rendah 21 persen dibandingkan tanpa pemanasan global. Di sana, petani kopi mengalami penurunan keuntungan dan lebih sering penyakit mewabah karena meningkatnya suhu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.