Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rhenald Khasali: Tiap Kondisi Keuangan Membaik, Garuda Selalu Heboh

Kompas.com - 30/04/2019, 12:51 WIB
Mutia Fauzia,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi


JAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar Universitas Indonesia Prof. Rhenald Kasali turut berkomentar terkait hebohnya laporan keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.

Rhenald menilai, Garuda Indonesia selalu heboh setiap kondisi keuangan dan kinerjanya membaik. Hampir dapat dipastikan selalu ada yang mempertanyakan kinerja maskapai penerbangan pelat merah tersebut.

Setelah menderita rugi sebesar Rp 3 triliun pada 2017, Garuda Indonesia mencatatkan keuntungan sebesar hampir Rp 100 miliar pada 2018. Lalu pada kuartal-I 2019 laba bersih Garuda Indonesia dilaporkan mencapai 19,7 juta dollar AS.

Baca juga: Garuda Indonesia Akhirnya Raup Laba Bersih, Ini Penyebabnya

Rhenald kemudian membandingkan keberatan yang diajukan 2 orang komisaris Garuda (2019) dengan yang diajukan segelintir orang pada tahun 1999 tak lama setelah krisis dan perusahaan diperbaiki alm Robby Djohan.

Sebelumnya, antara tahun 1995-1998 Garuda juga rugi sekitar Rp 5 triliun. Akan tetapi, tahun 1999 tiba-tiba bisa untung sekitar Rp 0,4 triliun.

“Saat itu Garuda kurs rupiah anjlok lebih parah dari keadaan tahun 2015-2018 dan menjadi sapi perah dari oknum pejabat yang lalu diikuti oknum-oknum orang dalam. Akibatnya, cash flow Garuda negatif. Servisnya memburuk. Utangnya membesar. Ketepatan waktunya rendah sekali. Satu-satunya yang tersisa tinggal keandalan keamanan (safety). Meski begitu karyawan percaya Garuda mustahil dipailitkan karena ia milik negara,” ujar Rhenald dalam keterangan tertulisnya yang diterima Kompas.com, Selasa (30/4/2019).

Baca juga: Laporan Keuangannya Tuai Polemik, Ini Penjelasan Garuda Indonesia

“Kerugian yang diderita Garuda beberapa tahun belakangan ini ada kemiripannya, tetapi konteksnya sudah berbeda,” ujarnya.

Perbedaannya, saat perusahaan diperbaiki di tahun 1999, para pegawai di dalam pun sulit mempercayai akan adanya keajaiban.

Sementara tahun ini, ia menilai jajaran direksi Garuda telah melakukan penertiban baik internal maupun eksternal. Keadaan internal kini lebih solid sehingga para pegawaipun lebih mendukung.

"Kedudukan direksi mudah digoyang karena Garuda Indonesia adalah gunung emas yang banyak bisnisnya,” lanjutnya.

Baca juga: Genjot Pendapatan, Ini yang Dilakukan Garuda Indonesia

“Inefisiensi dan kebocoran selalu muncul kembali begitu direksi lengah dan membuat Garuda rugi. KPK dan BPK saja pernah tunjukkan titik-titik penyebab kerugiannya. Dan selalu heboh begitu direksi baru mengumandangkan transformasi, termasuk hari ini,” tambahnya.

BPK dan KPK berkeyakinan kalau semua diperbaiki, kerugian negara bisa dicegah. Dengan drmikian, kata Rhenald, seharusnya komisaris mendukung berakhirnya kerugian di Garuda yang sudah sering menjadi temuan auditor BPK.

Pesawat Garuda Indonesia terparkir di apron Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang Banten, Minggu (10/2/2019).KOMPAS.com/MURTI ALI LINGGA Pesawat Garuda Indonesia terparkir di apron Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang Banten, Minggu (10/2/2019).


Kini lebih baik

Maka, baginya, sulit melepaskan konteks seperti itu pada hari ini di Garuda mengingat kini ada dua pihak pemegang saham. Masing-masing memiliki kepentingan.

Pemerintah sebagai pemegang saham di satu sisi berkepentingan untuk menyelamatkan uang negara, membuka akses daerah-daerah terpencil dan mengefisienkan BUMN melalui sinergi dan holding BUMN. Sedangkan PT Trans Corp selaku pemilik Trans Airways juga punya bisnis hiburan, konten, hotel, travel (Antavaya Group) dan bisnis-bisnis lain yang punya kesempatan berbisnis dengan Garuda.

Pasalnya, kalau Garuda diperbaiki dan kini menjadi lebih baik, apakah ia mengganggu kenyamanan mitra-mitra usahanya?

Dengan omzet 4,37 miliar dollar AS atau Rp 60,7 triliun sudah pasti ini menyangkut banyak kepentingan yang tentu bisa mengganggu kemajuannya sendiri.

Baca juga: Chairal Tanjung Tolak Laporan Keuangan Garuda Indonesia, Apa Sebabnya?


Garuda 4.0

Rhenald pun menyatakan, semua pihak harus benar-benar siap penerima perubahan. Namun perubahan paling mendasar yang harus dituntut adalah cara berpikir.

Ia menyebut ada empat perubahan orientasi cara berpikir dalam memajukan Garuda Indonesia.

Pertama, semua insan Garuda termasuk BOC dan BOD telah harus mengerti dampak disrupsi .

Sementara masih banyak agen perjalanan termasuk layanan angkutan jamaah umroh yang dikelola dengan pendekatan 1.0, yaitu paper based travel.

“Ini era Garuda 4.0. Mohon maaf kalau cara-cara lama cari untung sudah harus dikikis. Kalau dulu, paper-based travel yang dominan bisa kuasai seat pesawat tanpa komitmen. Hari ini kalau mau untung load factor pesawat harus tinggi. Artinya komitmen ada konsekuensinya. Kalau tidak airlines tak pernah untung. Tetapi kalau Garuda untung pasti ada Travel 1.0 yang buntung,” ujar Rhenald.

Baca juga: BEI Akan Panggil Garuda Indonesia dan Telisik Laporan Keuangannya

Kedua, jenis pendapatan. Bila dulu airlines bisa mengendalikan pendapatan dari penumpang semata-mata (tiket), kini airlines semakin sulit hidup dari tiket karena margin tiket dari tahun ke tahun semakin menipis.

Apalagi muncul LCC dan millenial traveler yang sensitif terhadap harga. Ia menilai, Garuda harus membidik eksekutif yang bukan pemburu diskon.

Konsumen pemburu diskon bisa diarahkan pada anak-anaknya saja, yaitu Citilink dan Sriwijaya. Karena itu, bisnis model perusahaan penerbangan harus berubah.

"Jadi Garuda harus pandai cari pendapatan-pendapatan besar di luar tiket," sebut Rhenald.

Baca juga: Karyawan Garuda Tuntut Kisruh Internal Pemegang Saham Diselesaikan

Karena itu pendapatan besar dari PT Mahata yang didapat oleh Garuda, harusnya disyukuri karena itu bentuk pendapatan non tiket yang besar.

Ketiga, revenue recognition. Pengakuan pendapatan memang menjadi sumber sengketa kali ini karena dalam prinsip akuntansi, dianut falsafah konservatif yang menuntun pengakuan pendapatan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu.

Namun perlu didalami juga hubungan antara up-front fee (semacam installment fee) yang diterima di depan dengan pembayaran bagi hasil yang diterima sesuai tahun pelaksanaan.

Baca juga: Pilot dan Karyawan Garuda Indonesia Bantah Akan Mogok Kerja

Mengingat Garuda masih berstatus BUMN, tentu perlu pula diperhatikan pengakuan pendapatan ini dengan UU Keuangan Negara sehingga tidak menimbulkan kerugian dalam menerapkan prinsip-prisinp yang diatur.

"Menurut saya PSAK mengatur beberapa kondisi yang bisa dipakai untuk memungkinkan tagihan dijadikan pendapatan asal syarat-syaratnya terpenuhi. Short-term win seperti ini bisa menjadi penyemangat untuk menimbulkan optimisme dalam menghadapi perubahan," jelas Rhenald.

Keempat, tentu menjadi lebih baik bila setiap pemegang saham menyampaikan secara terbuka apa tujuannya dengan memiliki blok saham yang signifikan dari sebuah perusahaan BUMN.

Baca juga: Soal Rencana Mogok Karyawan Garuda, Ini Kata Menhub

Rencana-rencana bisnis ke depan, sinergi yang diharapkan, dan kemungkinan-kemungkinan memperbesar usaha milik sendiri di luar saham yang dikuasainya perlu dibuka sebagai asas transparansi. Apalagi kalau kelak bisa menentukan jajaran direksi.

Sebab, kehadiran wakil pemegang saham dalam jajaran komisaris, sebenarnya telah memberi peluang pada pemegang saham untuk berbisnis dengan manajemen di kemudian hari. Ini sebaiknya dibuat transparan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com