Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
William Henley
Pendiri Indosterling Capital

Pendiri Indosterling Capital

Pemindahan Ibukota, Rencana Mulia Penuh Onak dan Duri...

Kompas.com - 06/05/2019, 04:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Latief

Logiskah?

Pemindahan ibu kota ke luar Pulau Jawa bisa dikatakan sebagai pilihan logis, apalagi jika melihat beragam masalah yang mendera kota yang juga pernah bernama Jayakarta ini.

Selain itu, ibu kota yang berpindah juga dapat bermakna kepada pemerataan perekonomian Indonesia. Mengapa?

Singkat cerita, Jakarta merupakan motor utama perekonomian Indonesia dengan PDB mencapai Rp 2.559,17 triliun (data 2018) atau naik dari tahun sebelumnya Rp 2.365,36 triliun. Sebagai perbandingan PDB Indonesia di tahun yang sama Rp 14.837,4 triliun.

"Gula-gula" di Jakarta itu tak ayal menghadirkan semut. Dalam konteks ini, daerah-daerah penyangga macam Bekasi, Depok, Tangerang, dan Bogor ikut kebagian cuan.

Ya, makin banyak permukiman dan industri yang tumbuh di Bodetabek untuk menopang aktivitas ekonomi di ibu kota. Semua itu berkontribusi positif terhadap PDB Jakarta dan Indonesia.

Namun, keputusan Jokowi memindahkan ibu kota ke luar Jawa tentu bisa berpengaruh terhadap pemerataan. Apalagi, menurut BPS, struktur ekonomi Indonesia sekitar 55 persen ke atas didominasi oleh pulau tersebut. Ibu kota baru tentu akan menumbuhkan aktivitas perekonomian di daerah-daerah sekitarnya.

Hati-hati

Terlepas dari beberapa pengaruh positif, pemerintah perlu mencermati berbagai tantangan sebelum memindahkan ibu kota.

Tantangan pertama adalah dasar hukum. Sebagaimana dijelaskan di awal, status DKI Jakarta sebagai ibu kota negara mendasarkan pada UU Nomor 29 Tahun 20007.

Untuk itu, begitu lokasi sudah ditentukan, pemerintah perlu segera mengajukan revisi UU tersebut. Walau terlihat mudah, pemerintah harus serius menyusun draft revisi UU itu agar tak ada masalah hukum di kemudian hari nanti.

Kedua adalah anggaran. Kementerian PPN/Bappenas memproyeksikan kebutuhan anggaran Rp 466 triliun demi memuluskan rencana ini. Sebuah nominal yang tidak sedikit. Membebankan seluruh ongkos kepada APBN sekalipun dengan skema multiyears jelas bukan jalan keluar yang bijak.

Untuk itu, masterplan ibu kota baru harus terang. Daerah-daerah yang bersifat komersial dapat dijual kepada calon investor. Iming-iming berupa keberadaan jutaan orang penduduk di kota itu tentu menggiurkan para pelaku penanaman modal.

Keberadaan pihak ketiga itu jelas krusial agar anggaran negara tetap sehat. Jangan sampai defisit anggaran melebar, dan ujung-ujung nya pemerintah harus berutang lagi demi menutupi kebutuhan anggaran.

Adapun tantangan ketiga adalah urusan teknis lapangan. Di sini pemerintah dipimpin Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang perlu segera mengadakan studi terperinci mengenai desain ibu kota baru nanti.

Sejarah pemindahan ibu kota dari negara-negara lain seperti Malaysia dan Brasil dapat dijadikan contoh. Namun, satu hal yang pasti, jangan sampai kebijakan ini malah berdampak negatif kepada lingkungan akibat kekhawatiran deforestasi. Ini jelas akan mengancam ekosistem sekaligus kehidupan masyarakat setempat.

Tentu saja, pemindahan ibu kota kali ini jangan lagi berhenti di tataran konsep dan wacana. Sebab, begitu banyak manfaat yang dapat diperoleh Indonesia sebagai sebuah negara yang begitu beragam.

Untuk itu, mari nantikan langkah pemerintah selanjutnya terkait rencana kebijakan tersebut. Sebuah rencana yang mulia, namun akan penuh onak dan duri ke depan. Semoga...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com