Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
William Henley
Pendiri Indosterling Capital

Pendiri Indosterling Capital

Pemindahan Ibukota, Rencana Mulia Penuh Onak dan Duri...

Kompas.com - 06/05/2019, 04:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Latief

KOMPAS.com - Rencana pemerintah memindahkan ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta kembali mencuat. Di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (29/4/2019) lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin rapat terbatas mengenai rencana tersebut.

Tatkala memberikan pengantar, Presiden menyatakan gagasan memindahkan ibu kota telah ada sejak era presiden pertama sekaligus proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, Ir Soekarno. Akan tetapi, menurut Jokowi, rencana itu timbul tenggelam karena tidak pernah diputuskan dan dijalankan secara terencana dan matang.

Eks gubernur DKI Jakarta itu menekankan, pemindahan ibu kota memerlukan persiapan matang dan detail, baik dari sisi pilihan lokasi maupun pembiayaan. Kepala negara juga meyakini gagasan besar itu bisa terwujud apabila dipersiapkan dengan baik.

Lalu, bagaimana memandang rencana teranyar pemerintahan Jokowi tersebut?

Status dan masalah Jakarta

DKI Jakarta merupakan ibu kota NKRI. Dasar hukumnya adalah UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hal itu tertera jelas pada BAB II (Dasar, Kedudukan, Fungsi, dan Peran) Bagian Kedua (Kedudukan) Pasal 3 yang berbunyi: Provinsi DKI Jakarta Berkedudukan Sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun, dalam perkembangannya Jakarta tidak hanya berperan sebagai ibu kota, melainkan juga sebagai pusat bisnis. Indikator sederhananya adalah begitu banyak kantor perusahaan ternama dari dalam dan luar negeri berdiri.

Pun, pusat perbelanjaan mulai level supermarket hingga mal. Jumlah penduduknya juga terus bertambah hingga melampaui 10 juta jiwa. Adapun dari sisi makroekonomi status Jakarta sebagai pusat bisnis tergambar dari kontribusi kota terhadap produk domestik bruto (PDB).

Dalam beberapa tahun terakhir kota yang dulu bernama Batavia ini menyumbang sekitar 15 persen hingga 17 persen terhadap PDB Indonesia. Pangsa pasar terbesar kontribusi ekonomi ibu kota berada di wilayah Jakarta Pusat.

Namun, di balik status Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan pusat bisnis, ada dampak negatif yang timbul. Macet dan banjir hanyalah dua di antara beragam masalah yang melanda ibu kota.

Dalam survei sebuah lembaga internasional pada 2016, Jakarta dinobatkan sebagai kota dengan kemacetan terburuk di dunia. Sementara terkait banjir, sejarah mencatat enam kali banjir besar melanda ibu kota, mulai dari 1918, 1979, 1996, 2002, 2007, dan 2013.

Sungai Ciliwung di sekitar Jalan Raya Kalibata meluap dan menyebabkan banjir yang merendam rumah warga di Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (26/4/2019). Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI Jakarta mencatat ada 17 titik di DKI Jakarta terendam banjir pada Jumat (26/4/2019) pagi akibat luapan Sungai Ciliwung.KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Sungai Ciliwung di sekitar Jalan Raya Kalibata meluap dan menyebabkan banjir yang merendam rumah warga di Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (26/4/2019). Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI Jakarta mencatat ada 17 titik di DKI Jakarta terendam banjir pada Jumat (26/4/2019) pagi akibat luapan Sungai Ciliwung.
Keputusan pindah

Dalam rapat terbatas di Kantor Presiden, Senin (29/4/2019), mulanya ada tiga opsi perihal pemindahan ibu kota. Pertama, ibu kota tetap di Jakarta, namun daerah seputaran Istana Kepresidenan Jakarta dan Monas dikhususkan untuk kantor-kantor pemerintahan, kementerian, dan lembaga.

Kedua, pusat pemerintahan pindah ke luar Jakarta, tapi masih berada dalam radius 50 kilometer hingga 70 kilometer dari Jakarta. Ketiga, memindahkan ibu kota ke luar Pulau Jawa, khususnya mengarah ke kawasan timur Indonesia. Jokowi memilih opsi ketiga.

Logiskah?

Pemindahan ibu kota ke luar Pulau Jawa bisa dikatakan sebagai pilihan logis, apalagi jika melihat beragam masalah yang mendera kota yang juga pernah bernama Jayakarta ini.

Selain itu, ibu kota yang berpindah juga dapat bermakna kepada pemerataan perekonomian Indonesia. Mengapa?

Singkat cerita, Jakarta merupakan motor utama perekonomian Indonesia dengan PDB mencapai Rp 2.559,17 triliun (data 2018) atau naik dari tahun sebelumnya Rp 2.365,36 triliun. Sebagai perbandingan PDB Indonesia di tahun yang sama Rp 14.837,4 triliun.

"Gula-gula" di Jakarta itu tak ayal menghadirkan semut. Dalam konteks ini, daerah-daerah penyangga macam Bekasi, Depok, Tangerang, dan Bogor ikut kebagian cuan.

Ya, makin banyak permukiman dan industri yang tumbuh di Bodetabek untuk menopang aktivitas ekonomi di ibu kota. Semua itu berkontribusi positif terhadap PDB Jakarta dan Indonesia.

Namun, keputusan Jokowi memindahkan ibu kota ke luar Jawa tentu bisa berpengaruh terhadap pemerataan. Apalagi, menurut BPS, struktur ekonomi Indonesia sekitar 55 persen ke atas didominasi oleh pulau tersebut. Ibu kota baru tentu akan menumbuhkan aktivitas perekonomian di daerah-daerah sekitarnya.

Hati-hati

Terlepas dari beberapa pengaruh positif, pemerintah perlu mencermati berbagai tantangan sebelum memindahkan ibu kota.

Tantangan pertama adalah dasar hukum. Sebagaimana dijelaskan di awal, status DKI Jakarta sebagai ibu kota negara mendasarkan pada UU Nomor 29 Tahun 20007.

Untuk itu, begitu lokasi sudah ditentukan, pemerintah perlu segera mengajukan revisi UU tersebut. Walau terlihat mudah, pemerintah harus serius menyusun draft revisi UU itu agar tak ada masalah hukum di kemudian hari nanti.

Kedua adalah anggaran. Kementerian PPN/Bappenas memproyeksikan kebutuhan anggaran Rp 466 triliun demi memuluskan rencana ini. Sebuah nominal yang tidak sedikit. Membebankan seluruh ongkos kepada APBN sekalipun dengan skema multiyears jelas bukan jalan keluar yang bijak.

Untuk itu, masterplan ibu kota baru harus terang. Daerah-daerah yang bersifat komersial dapat dijual kepada calon investor. Iming-iming berupa keberadaan jutaan orang penduduk di kota itu tentu menggiurkan para pelaku penanaman modal.

Keberadaan pihak ketiga itu jelas krusial agar anggaran negara tetap sehat. Jangan sampai defisit anggaran melebar, dan ujung-ujung nya pemerintah harus berutang lagi demi menutupi kebutuhan anggaran.

Adapun tantangan ketiga adalah urusan teknis lapangan. Di sini pemerintah dipimpin Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang perlu segera mengadakan studi terperinci mengenai desain ibu kota baru nanti.

Sejarah pemindahan ibu kota dari negara-negara lain seperti Malaysia dan Brasil dapat dijadikan contoh. Namun, satu hal yang pasti, jangan sampai kebijakan ini malah berdampak negatif kepada lingkungan akibat kekhawatiran deforestasi. Ini jelas akan mengancam ekosistem sekaligus kehidupan masyarakat setempat.

Tentu saja, pemindahan ibu kota kali ini jangan lagi berhenti di tataran konsep dan wacana. Sebab, begitu banyak manfaat yang dapat diperoleh Indonesia sebagai sebuah negara yang begitu beragam.

Untuk itu, mari nantikan langkah pemerintah selanjutnya terkait rencana kebijakan tersebut. Sebuah rencana yang mulia, namun akan penuh onak dan duri ke depan. Semoga...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com