Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mahendra K Datu
Pekerja corporate research

Pekerja corporate research. Aktivitas penelitiannya mencakup Asia Tenggara. Sejak kembali ke tanah air pada 2003 setelah 10 tahun meninggalkan Indonesia, Mahendra mulai menekuni training korporat untuk bidang Sales, Marketing, Communication, Strategic Management, Competititve Inteligent, dan Negotiation, serta Personal Development.

Saat AI dan Machine Learning Menantang Lembaga Survei

Kompas.com - 06/05/2019, 13:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Mesin AI sudah bisa belajar sendiri memakai pola-pola yang ada dan membuat pola alternatif lalu mengkalkulasi setiap konsekuensinya, jauh lebih cepat dan tentu saja tanpa ragu. Mesin AI adalah mesin stand-alone!

Sahabat saya, konsultan sekolah vokasi teknologi yang sempat belajar di Inggris bercerita bahwa beberapa tahun lalu saat ia akan memesan tiket untuk menonton sepak bola Liga Primer di sana ia harus mendaftar terlebih dahulu jauh hari untuk mendapatkan posisi tempat duduk. Awalnya ia heran kenapa untuk beli tiket termurah saja masih harus diatur tempat duduknya.

Belakangan baru dia paham bahwa sistem ticketing di Liga Primer, terutama untuk pertandingan-pertandingan besar, mensyaratkan hal itu, karena mesin AI yang dimiliki Liga akan mensortir kecenderungan-kecenderungan perilaku setiap penonton yang mendaftar untuk beli tiket.

Beberapa mantan Hooligan (penonton yang gemar bikin ribut) yang mendaftar otomatis akan langsung dikenali oleh sistem dan ditaruh di spot tertentu di stadion agar mudah diawasi aparat.

Dalam kemampuan ekstremnya, sistem bahkan mampu mengenali juga kecenderungan tim mana yang bakal didukung oleh seorang pendaftar yang akan beli tiket.

Berdasarkan protokol sistem, calon penonton tersebut akan diarahkan ke spot tempat duduk tertentu yang menghindarkan dia bentrok dengan pendukung tim lawan.

Bagi saya, sistem itu bahkan sudah melangkah terlalu jauh. Dalam skala tertentu, sistem itu mengkonfirmasi bahwa data tentang seseorang memang benar-benar sudah sedemikian tersebarnya di cyber-space.

Sistem itu mengambil semua informasi yang tersedia termasuk dari berbagai akun medsos terbuka dan mungkin saja termasuk akun ecommerce. It’s anyone’s guess.

Dalam kesempatan lainnya, sahabat saya itu pernah mengatakan, “tell me who your friends are, and I will tell you who you are”.

Lalu terpikirlah dalam benak saya, barangkali, algoritma seperti itu lah yang menopang salah satu protokol kerja di mesin AI.

Dan, lagi-lagi saya membayangkan sedang berdiri di antrean panjang di depan ticket box di Stadion Old Trafford, sementara beberapa CCTV di sekitaran ticket box bahkan sudah mengetahui siapa saya, dengan siapa saya berteman, klub sepakbola mana yang saya dukung, dan apakah saya memiliki kecenderung untuk membeli merchandise di souvernir store mereka hanya dengan melihat koleksi segala hal yang berbau Manchaster United dari akun-akun medsos saya. Alamaaakk!

Dan saya kembali ingat soal lembaga-lembaga survei yang menjamur di negeri ini. Siapkah mereka bila suatu saat platform e-cash atau epayment berbasis big data dan AI seperti GoPay, Ovo, dan beberapa lainnya, bahkan lebih akurat memprediksi kecenderungan preferensi masyarakat akan isu-isu tertentu, tepat seorang demi seorang. Setidaknya ada tiga hal yang saya amati.

Pertama, soal presisi, atau akurasi. Anda bisa bayangkan, mesin AI yang disokong ratusan sensor dan web-cam di sebuah toko Amazon-Go, toko tanpa pelayan dan tanpa kasir, akan dengan tepat mengetahui berapa jumlah pengunjung toko, barang-barang apa saja yang mereka masukkan ke keranjang belanjaan, berapa yang batal mereka beli dan ditaruh kembali ke rak, bahkan bila barang itu tidak dikembalikan ke raknya semula. Presisi, akurasi seperti itu, jelas mengungguli kemampuan komputasi konvensional tanpa AI.

Dalam sebuah survei, margin of errors menjadi semacam disclaimer yang paling masuk akal, karena responden yang disurvei atau diwawancarai hanya sebagian kecil saja (sampling) dan juga untuk menyatakan bahwa tingkat kesalahan sample pasti ada karena sample terlalu kecil untuk mewakili keseluruhan populasi yang menjadi target survei. Bagaimana dengan kemampuan komputasi AI untuk melakukan survei?

Sudah jelas tingkat akurasi survei oleh mesin AI akan lebih presisi, di samping karena sifatnya bisa realtime, juga karena tak ada apriori maupun pre-judgment terhadap tujuan survei itu sendiri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com