Mimpi tersebut jelas kontradiktif dengan upaya pengurangan beban di Jakarta. Ini juga bertentangan dengan upaya pemerataan pembangunan pemerintah ke luar Jawa yang digadang-gadang sebagai logika memindahkan ibu kota.
Sementara itu, ibu kota baru yang nantinya hanya menjalankan fungsi pemerintahan tidak akan efektif sebagai pusat pertumbuhan baru, sebab kota tersebut membutuhkan basis ekonomi yang kuat, seperti pusat industri atau bisnis.
Kementerian PPN/Bappenas yang bertanggung jawab atas rencana ini sendiri sejak awal tidak pernah benar-benar memublikasikan kajian pemindahan ibu kota kepada publik.
Akibatnya, banyak pihak bertanya apa urgensinya memindahkan ibu kota negara. Bahkan menganggap ini sebagai upaya pengalihan isu belaka.
Sebelum ribut berdebat tentang di mana lokasi yang tepat untuk ibu kota baru, kita harus benar-benar yakin bahwa keputusan tersebut sudah didukung oleh bukti dan analisis komprehensif mengenai implikasi-implikasinya.
Jangan sampai memindahkan ibu kota hanya menjadi bagian dari strategi tak kasat mata untuk menduplikasi penyakit kronis yang kini dihadapi Jakarta, yang meskipun lokasinya dekat dengan pemerintah pusat, tidak serta-merta mampu mengatasinya.
Jangan sampai kita menunjukkan kegagalan ketika melakukan perencanaan. Bukankah, gagal merencanakan berarti merencanakan kegagalan?
Rendy A Diningrat
Researcher, SMERU Research Institute
Artikel ini tayang di Kompas.com atas kerja sama dengan The Conversation Indonesia dan diambil dari tulisan berjudul "Menggugat logika pemerintah memindahkan ibu kota negara".