Sebagaimana dikatakan oleh Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, tarif tol Trans-Jawa didasari pada pertimbangan investor. Beberapa pembangunan tol Trans-Jawa dibangun menggunakan dana investor swasta, sehingga penerapan tarif lebih mempertimbangkan pengembalian modal investor tol dari waktu konsesi tol yang diberikan pemerintah, yang biasanya 40 tahun semenjak penandatangan kontrak.
Lihat saja di Filipina, ada Star Tollway yang memiliki tarif Rp 1.831,7 per km. Sementara itu, di Malaysia ada tol North-South Expressway dari pintu masuk Ainsdale hingga Juru yang berjarak 386,5 km, kendaraan paling berat (golongan III) hanya perlu membayar sebesar RM 106,4. Bila dirupiahkan sesuai kurs Rp 3.437,4 per RM pada 8 Februari 2019, nilainya Rp 365.742,6 atau Rp 946,3 per km.
Selain pertimbangan tersebut, besaran tarif tol juga sangat tergantung pada waktu, kapan investasi tol itu berlangsung. Jika tol sudah berumur lama, kemungkinan tarifnya berpotensi lebih rendah karena biaya investasi jauh lebih murah.
Belum lagi faktor lain seperti jenis konstruksi dan medan. Semakin sulit medannya atau banyak menggunakan konstruksi elevated/layang atau terowongan, maka investasinya makin besar, sehingga tarif berpotensi makin tinggi.
Jadi di sinilah kita bisa melihat jelas bahwa Lebaran bukan saja kemeriahan bagi mayoritas penduduk Indonesia beragama Muslim yang juga notabene perantau, tetapi juga kemeriahan luar biasa bagi investor-investor triliunan rupiah yang telah menjadi patner pemerintah dalam mimpi-mimpi infrastruktur, terutama jalan tol.
Namun, kesan kurang baik masih terasa di sini, di mana seolah pemerintah kesulitan dalam mengatasi mahalnya harga tiket pesawat, baik karena faktor duopoli bisnis penerbangan..
Ini terjadi karena memang ada beberapa kenaikan dalam biaya operasi maskapai penerbangan, tapi di sisi lain, pemerintah terkesan sedang mengarahkan sentimen positif kepada bisnis yang melekat pada proyek-proyek infrastruktur seperti jalan tol.
Hal sebaliknya terjadi pada moda transportasi udara. Direktorat Jenderal Perhubungan Kemenhub mencatat, hingga Rabu (29/5/2019) siang atau H-7 Lebaran, terjadi penurunan drastis pada tingkat pergerakan pesawat maupun jumlah penumpang pesawat. Pemantauan dilakukan pada 34 bandara yang sudah melapor ke posko pusat dari total 36 bandara yang seharusnya masuk ke dalam daftar.
Dari data hingga pukul 14.11 WIB H-7, kedatangan pesawat turun 73,43 persen dari 2.264 pada 2018 menjadi 601 penerbangan tahun ini.
Selain itu, terjadi penurunan jumlah penumpang sebanyak 83,01 persen dari 291.704 orang menjadi 49.564 orang.
Keberangkatan pesawat juga turun 66,45 persen dari 2.274 menjadi 763, dengan jumlah penumpang turun 76,94 persen dari 289.522 menjadi 66.766.
Bagi bisnis penerbangan yang hanya dikuasai oleh duopoli raksasa, penurunan jumlah penumpang terasa tidak terlalu mengkhawatirkan jika ada pembiaran kenaikan harga tiket yang luar biasa tinggi.
Di sinilah poin utama persoalannya. Kenaikan harga tiket yang secara data berakibat pada penurunan jumlah penumpang, berimplikasi positif dengan data kenaikan jumlah pengguna jalur darat, terutama pengguna jalan berbayar di Trans-Jawa dan Trans-Sumatera.
Implikasi lainnya, yang masih hangat di telinga kita, kenaikan harga tiket pesawat akan memungkinkan opsi pemain asing untuk masuk di bisnis penerbangan nasional, sama seperti pemain asing yang telah lebih dulu masuk di proyek kemitraan infrastruktur.
Dengan lain perkataan, pemerintah lebih banyak menggunakan wewenangnya untuk menyelesaikan masalah yang ada untuk memasukan berbagai macam kepentingan yang kurang signifikan terhadap substansi persoalan, yakni kepentingan rakyat banyak.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.