Pemerintah China sendiri sedang terkuras energinya karena perang dagang dengan Amerika Serikat. Setidaknya pundi-pundi sebesar 250 miliar dollar AS terpaksa menguap karena batasan ekspor dan tingginya tarif masuk ke pasar Amerika.
Kasus Huawei terpaksa di-leverage dengan kasus-kasus umum yang mana perusahaan-perusahaan besar dari China terpaksa menderita karena perang dagang ini. Singkat kata, Huawei sendirian berhadapan dengan pemerintah Amerika! So?
Namun begitu, Huawei tak benar-benar sendirian. Benua Afrika, Amerika Latin dan pasar Asia masih terlalu ‘jaim’ untuk tidak berbisnis dengan Huawei. Di samping itu, Huawei tergolong generous soal berbagi R&D dengan negara-negara di mana R&D Institute-nya berada.
Di Leuven, Belgia, misalnya, Huawei termasuk garda depan dalam pengembangan teknologi 5G di mana perusahaan-perusahaan teknologi lainnya masih dalam tahap coba-coba, terutama terkait penerapan 5G di dalam IoT (Internet of Things) serta teknologi Cloud serta AI (Artificial Intelligence-nya). Saat Amerika masih rapat-rapat menyimpan riset di teknologi-teknologi tersebut, Huawei sudah membuatnya menjadi masal.
Mari kita flash back sejenak untuk mengelaborasi kasus Huawei ini. Bulan September 2015 Jack Ma, taipan super tajir pendiri Alibaba Group yang juga asal China menghadiri talkshow dalam acara CNBC ‘Clinton Global Initiatives’ yang mana mantan presiden Amerika Bill Clinton menjadi co-speaker-nya.
Ada satu hal yang penting disampaikan oleh Jack Ma soal ketakutan orang-orang Amerika dan pemerintahnya terhadap China serta laju ekonominya.
“Masyarakat China tak seperti orang-orang Amerika yang royal membelanjakan uang masa depannya untuk belanja hari ini. (Tapi kini) China sedang bertransisi ke arah ekonomi yang didorong konsumsi, dengan demikian apapun produk China masih bisa dikonsumsi secara domestik tanpa terlalu bergantung pada pasar luar negeri,” ucap Ma.
Sebenarnya pernyataan Jack Ma selaras dengan kondisi internal di China sendiri saat ini. China belum benar-benar siap menjadi pasar konsumen untuk produk-produk mereka sendiri. Begini lanjut Jack Ma …
“Kalian orang-orang Amerika terlalu mengkhawatirkan soal China. Setiap kali kalian berpikir China adalah masalah, mendadak ekonomi kami menjadi lebih baik. Tapi setiap kali kalian berharap China bisa membantu meredam gejolak global, (ekonomi) kami malah menjadi berantakan.”
Jack Ma sedang berbicara soal kesaling-tergantungan global. Bill Clinton bisa mencerna dengan baik statement Jack Ma. Sayangnya, empat tahun kemudian, Presiden Donald Trump gagal melihat konsep ketergantungan serta keterhubungan ini.
Bayangkan, ribuan merek dan produk teknologi Amerika diproduksi di China, sementara perusahaan-perusahaan besar China mencari dana segar dengan melantai di bursa Wallstreet, Manhattan Selatan.
Label ‘designed in the US, manufactured in China’ menjadi co-branding yang sangat kuat di seluruh dunia, karena label itu mengisyaratkan kualitas yang tinggi dengan ongkos produksi yang relatif rendah sehingga harganya terjangkau masyarakat konsumen global. China akan selalu tergantung pada brand-portfolio serta kekuatan modal global di tanah Amerika.
Statement “Are You China-Ready?”
Lepas dari polemik Ren Zhengfei melawan pemerintah Amerika, atau kejujuran seorang Jack Ma saat menyatakan betapa bergantungnya China dengan Amerika, ada satu fenomena unik di negeri tirai bambu itu sendiri.
Sebuah organisasi yang merupakan kemitraan antara pemerintah Cina (kementerian pariwisata serta kementrian perdagangan dan industri) dengan korporasi-korporasi swasta China yang bernama ‘China-Ready & Accredited” (CRA) telah mempelopori untuk membuka Chhina, siapa dan seperti apa China dan orang-orangnya, serta bagaimana budaya serta keinginan atau preferensi masyarakat China saat berhadapan dengan masyarakat global.