Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mahendra K Datu
Pekerja corporate research

Pekerja corporate research. Aktivitas penelitiannya mencakup Asia Tenggara. Sejak kembali ke tanah air pada 2003 setelah 10 tahun meninggalkan Indonesia, Mahendra mulai menekuni training korporat untuk bidang Sales, Marketing, Communication, Strategic Management, Competititve Inteligent, dan Negotiation, serta Personal Development.

Bangsa yang Bernyali: I Dare You!

Kompas.com - 05/06/2019, 08:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

“You don’t scare us.”, begitu kira-kira pesan yang disampaikan Ren Zhengfei kepada President Donald Trump.

Dalam interviewnya di bulan Februari 2019 lalu dengan reporter BBC, Karishma Vaswani, dengan nada penuh percaya diri Ren Zhengfei memberikan statement-nya, “Amerika tak akan bisa menghancurkan kami, dunia tak dapat mengabaikan kami, karena teknologi kami jauh lebih maju.”

Silakan disimak siapa Ren Zhengfei itu. Ia adalah pendiri perusahaan Huawei, raksasa infrastruktur jaringan telekomunikasi dunia asal Cina. Huawei kebetulan juga memproduksi handset ponsel cerdas dan peralatan telekomunikasi lainnya. Ia bukanlah pemerintah China, juga bukan proxy pemerintah China. Ia benar-benar ‘hanyalah’ seorang warga negara hCina yang kebetulan bisnisnya mendunia.

Bagaimana mungkin seorang warganegara China memberikan pernyataan sekeras dan segeram itu kepada presiden negara adidaya Amerika?

Baca juga: Perang Dagang, CEO Huawei Tolak Aksi Boikot Apple di China

Bandingkan situasi Zhengfei dengan saat CEO Google, Sundar Pichai, dipanggil oleh Kongres Amerika terkait data privacy pengguna Android OS dan Chrome besutan Google. Sundar Pichai harus ekstra hati-hati dalam merespons sesi dengar pendapat dengan para anggota kongres, karena salah merespons sedikit saja, Google bisa dapat masalah besar.

Dalam kasus lain, lihatlah wajah tegang Mark Zuckerberg saat dihujani pertanyaan-pertanyaan retorik oleh Senator Richard J. Durbin terkait bocor serta disalahgunakannya data pengguna Facebook di Amerika.

Baik Pichai maupun Zuckerberg tak ada yang terlalu bernyali untuk ‘main-main’ dengan regulator Amerika. Lalu bagaimana menjelaskan statement Ren Zhengfei yang jelas-jelas mengirimkan pesan ke pemerintah Amerika, Kami tidak takut?

Zhengfei ada di dalam posisi yang sebenarnya lemah. Huawei dihadapkan pada 23 tuduhan serius terkait teknologinya, dan dua di antaranya terkait pencurian data rahasia perdagangan Amerika serta bisnisnya dengan Iran yang sedang dalam sanksi embargo Amerika.

Karena kasus ini pula, Amerika melalui pengaruhnya kepada pemerintah Kanada meminta aparat kepolisian Kanada menangkap Direktur Keuangan Huawei, Meng Wanzhou, yang kebetulan adalah anak kandung Ren Zhenfei. Jadi, dari mana datangnya nyali sebesar dinosaurus itu hingga Zhengfei bisa berteriak ‘kami tidak takut’?

Teknologi, kekuatan jaringan dan ketergantungan

Huawei memiliki lebih dari 170,000 staf dengan 76,000 di antaranya khusus bekerja di unit R&D (Research & Development). Saat ini Huawei memiliki lebih dari 20 R&D Institute yang tersebar di seluruh dunia.

Dalam satu tahun rata-rata anggaran R&D Huawei mencapai 14 miliar dollar AS (hampir Rp 200 triliun), itu setara dengan dua kali APBD DKI tahun ini!

Saat Zhengfei mengatakan tidak takut kepada ancaman Amerika karena teknologi Huawei lebih maju, dia berbicara dengan data-data yang riil.

Huawei telah berada di hampir 200 negara di dunia, teknologi peralatan telekomunikasi serta consumer goods-nya sudah masuk liga sekelas pemain-pemain besar di Silicon Valley. Tiga perusahaan telco di Inggris sangat tergantung pada teknologi jaringan Huawei, dan banyak negara Eropa lainnya ada dalam situasi yang sama. Canggih dan lebih murah, barangkali itulah kelebihan produk-produk Huawei.

Pertanyaannya adalah, apakah Zhengfei mendapatkan back up dari pemerintah China sehingga ia menjadi sungguh bernyali? Ya dan tidak.

Pemerintah China sendiri sedang terkuras energinya karena perang dagang dengan Amerika Serikat. Setidaknya pundi-pundi sebesar 250 miliar dollar AS terpaksa menguap karena batasan ekspor dan tingginya tarif masuk ke pasar Amerika.

Kasus Huawei terpaksa di-leverage dengan kasus-kasus umum yang mana perusahaan-perusahaan besar dari China terpaksa menderita karena perang dagang ini. Singkat kata, Huawei sendirian berhadapan dengan pemerintah Amerika! So?

Namun begitu, Huawei tak benar-benar sendirian. Benua Afrika, Amerika Latin dan pasar Asia masih terlalu ‘jaim’ untuk tidak berbisnis dengan Huawei. Di samping itu, Huawei tergolong generous soal berbagi R&D dengan negara-negara di mana R&D Institute-nya berada.

Di Leuven, Belgia, misalnya, Huawei termasuk garda depan dalam pengembangan teknologi 5G di mana perusahaan-perusahaan teknologi lainnya masih dalam tahap coba-coba, terutama terkait penerapan 5G di dalam IoT (Internet of Things) serta teknologi Cloud serta AI (Artificial Intelligence-nya). Saat Amerika masih rapat-rapat menyimpan riset di teknologi-teknologi tersebut, Huawei sudah membuatnya menjadi masal.

Mari kita flash back sejenak untuk mengelaborasi kasus Huawei ini. Bulan September 2015 Jack Ma, taipan super tajir pendiri Alibaba Group yang juga asal China menghadiri talkshow dalam acara CNBC ‘Clinton Global Initiatives’ yang mana mantan presiden Amerika Bill Clinton menjadi co-speaker-nya.

Ada satu hal yang penting disampaikan oleh Jack Ma soal ketakutan orang-orang Amerika dan pemerintahnya terhadap China serta laju ekonominya.

“Masyarakat China tak seperti orang-orang Amerika yang royal membelanjakan uang masa depannya untuk belanja hari ini. (Tapi kini) China sedang bertransisi ke arah ekonomi yang didorong konsumsi, dengan demikian apapun produk China masih bisa dikonsumsi secara domestik tanpa terlalu bergantung pada pasar luar negeri,” ucap Ma.

Ilustrasi perang dagangshutterstock.com Ilustrasi perang dagang

Sebenarnya pernyataan Jack Ma selaras dengan kondisi internal di China sendiri saat ini. China belum benar-benar siap menjadi pasar konsumen untuk produk-produk mereka sendiri. Begini lanjut Jack Ma …

“Kalian orang-orang Amerika terlalu mengkhawatirkan soal China. Setiap kali kalian berpikir China adalah masalah, mendadak ekonomi kami menjadi lebih baik. Tapi setiap kali kalian berharap China bisa membantu meredam gejolak global, (ekonomi) kami malah menjadi berantakan.”

Jack Ma sedang berbicara soal kesaling-tergantungan global. Bill Clinton bisa mencerna dengan baik statement Jack Ma. Sayangnya, empat tahun kemudian, Presiden Donald Trump gagal melihat konsep ketergantungan serta keterhubungan ini.

Bayangkan, ribuan merek dan produk teknologi Amerika diproduksi di China, sementara perusahaan-perusahaan besar China mencari dana segar dengan melantai di bursa Wallstreet, Manhattan Selatan.

Label ‘designed in the US, manufactured in China’ menjadi co-branding yang sangat kuat di seluruh dunia, karena label itu mengisyaratkan kualitas yang tinggi dengan ongkos produksi yang relatif rendah sehingga harganya terjangkau masyarakat konsumen global. China akan selalu tergantung pada brand-portfolio serta kekuatan modal global di tanah Amerika.

Statement “Are You China-Ready?”

Lepas dari polemik Ren Zhengfei melawan pemerintah Amerika, atau kejujuran seorang Jack Ma saat menyatakan betapa bergantungnya China dengan Amerika, ada satu fenomena unik di negeri tirai bambu itu sendiri.

Sebuah organisasi yang merupakan kemitraan antara pemerintah Cina (kementerian pariwisata serta kementrian perdagangan dan industri) dengan korporasi-korporasi swasta China yang bernama ‘China-Ready & Accredited” (CRA) telah mempelopori untuk membuka Chhina, siapa dan seperti apa China dan orang-orangnya, serta bagaimana budaya serta keinginan atau preferensi masyarakat China saat berhadapan dengan masyarakat global.

CRA menjadi seperti pusat pengetahuan serta sertifikasi bagi bisnis-bisnis global yang akan masuk berinvestasi di China, serta bagi bisnis-bisnis global yang akan berhubungan dengan perusahaan dan orang-orang (konsumen) China di negara-negara mereka sendiri.

CRA memberi info dengan tepat, misalnya soal keinginan turis-turis asal China apa saja saat mereka akan pergi ke Amerika. Dengan demikian, para pebisnis di Amerika, misal pengusaha restoran atau hotel di Amerika, akan menyiapkan segala sesuatunya agar menarik untuk dikunjungi oleh turis-turis asal China tersebut.

Pun demikian dengan investor asing yang akan masuk ke China. Mereka akan difasilitasi untuk mengenal lebih dekat bagaimana berinvestasi di China dengan pendekatan preferensi serta budaya orang-orang China.

Dengan insisiatif CRA ini, jadi siapa yang lebih xenophobic? Amerika, atau China?

Presiden Joko Widodo meninjau kawasan perairan Natuna dari atas KRI Imam Bonjol, Kamis (23/6/2016).PRESIDENTIAL PALACE/Agus Suparto Presiden Joko Widodo meninjau kawasan perairan Natuna dari atas KRI Imam Bonjol, Kamis (23/6/2016).

Bagaimana Indonesia bisa belajar?

Pemerintah kita saat ini sangat bertaji. Tanpa harus berkonfrontasi head-to-head dengan negara-negara besar, pemerintah telah mengirimkan pesan ke seluruh dunia. Pesannya sangat sederhana, “Are You Indonesia-Ready?” Apakah kalian (negara-negara sahabat) siap berhubungan bisnis dengan Indonesia?

Dengan gencarnya pemberantasan illegal fishing di perairan Indonesia, pencegatan barang-barang haram dari pos-pos perbatasan dengan negara tetangga, pembangunan serta modernisasi semua tapal batas terluar Indonesia, serta menjadi tuan rumah untuk event-event besar skala global seperti IMF-World Bank Meeting, Asian Games, KTT APEC dan Non-Blok, Indonesia sudah tak main di liga kecil lagi.

Sadar atau tidak, Indonesia sudah layak menjadi naga baru. Siapa tak tergiur dengan pasar sebesar 260 juta konsumen yang hampir seperempatnya adalah kelas menengah?

Masih ingatkah kita saat Presiden Jokowi marah-marah karena mendengar bahwa China mengklaim Pulau Natuna sebagai bagian dari Laut China Selatan? Beberapa waktu kemudian beliau benar-benar naik kapal perang menuju Pulau Natuna, dan setelah itu lima kapal perang ditambahkan untuk mengamankan perairan di sekitar Natuna.

Apakah lalu Indonesia dan China menjadi bermusuhan? Tidak. Dengan kedewasaan yang sama, keduanya tetap saling menyegani, menghormati satu sama lain. Yang satu menanyakan “are you China-ready?” Yang satunya membalas dengan pertanyaan yang sama, “are you Indonesia-ready?

Seorang Jokowi memang bukan Ren Zhengfei. Indonesia memang bukanlah Huawei, pun sebaliknya. Tapi kedua pemimpin ini punya nyali yang sama besarnya, dan tahu betul bahwa kemakmuran dunia ini hanya bisa dirajut dengan kolaborasi, bukan persaingan otot. Pikiran dan persepsi ini sangat penting.

Benarlah kata-kata Ren Zhengfei, ‘What is bigger than the world? It’s our mind.”

Nyali dibentuk oleh pikiran-pikiran kita tentang banyak hal. Dana Huawei tergolong kecil dibanding dana perusahaan-perusahaan raksasa di Silicon Valley, tapi Huawei tak pelit berinvestasi untuk R&D di teknologi-teknologi terbaru. Kurva belajarnya sangat tinggi. Pertumbuhannya gila-gilaan.

Dan inilah salah satu kunci negeri kita ini untuk menjadi garda depan ekonomi global: investasi di R&D, investasi di pengembangan SDM, dan investasi di pusat-pusat pendidikan vokasi. Perlu nyali dan keyakinan yang besar untuk itu. Kita pasti bisa.

What is bigger than fear? It’s our own fear.

Semper Fi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com