Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mahendra K Datu
Pekerja corporate research

Pekerja corporate research. Aktivitas penelitiannya mencakup Asia Tenggara. Sejak kembali ke tanah air pada 2003 setelah 10 tahun meninggalkan Indonesia, Mahendra mulai menekuni training korporat untuk bidang Sales, Marketing, Communication, Strategic Management, Competititve Inteligent, dan Negotiation, serta Personal Development.

Jangan Suruh Mereka Pulang dari Silicon Valley

Kompas.com - 13/06/2019, 07:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Lalu sejak itu saya sering mendengar semacam ajakan untuk orang-orang Indonesia yang sudah berhasil di perantauan pulang kampung membangun Ibu Pertiwi. Mottonya: Indonesia membutuhkan kalian.

(Oh, tentu saja Indonesia selalu membutuhkan kalian, tapi tidakkah dunia yang lebih besar membutuhkan otak-otak encer Indonesia untuk membangun dunia yang lebih besar agar lebih baik? Bukankah otak Indonesia membutuhkan banyak ‘kantor cabang’ di seluruh dunia?)

Mereka tak harus pulang kampung. Lebih baik mereka berjuang dengan lebih keras hingga mencapai level prestisius seperti pencapaian Sundar Pichai, Satya Nadela, Jan Koum, Novak Djokovic atau Sergey Brin. Mereka akan menjadi perpanjangan tangan Indonesia di delapan penjuru mata angin. Mereka akan menjadi brand-ambassador atas suatu bangsa yang keren dan menawan bernama bangsa Indonesia. (No? Note sure yet?).

Dari India, belajar ke China

Semangat kembali ke kampung dan membangun kampung halaman tentulah suatu hal yang sangat mulia. Apalagi bila kampung halaman memerlukan inspirasi hidup yang menjadi contoh ‘ini lho si anu yang sudah sukses di sana’.

Bila ada perantau-perantau yang memilih pulang kampung karena alasan-alasan beragam dan tentu pribadi, alam akan mengizinkannya terjadi sedemikian rupa.

Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak berencana pulang kampung dan menetap di perantauan? Kita hanya bisa meyakini mereka memiliki alasan luhur dan mulia untuk itu. Jangan paksa mereka pulang.

Dua puluh atau tiga puluh tahun lalu saya merasakan sendiri bagaimana pulang kampung adalah jawaban atas kerinduan akan orang-orang yang selama bertahun-tahun kita tinggalkan dan berdoa agar kehidupan kita di perantauan berhasil serta menjadi berkat bagi mereka.

Pulang kampung adalah cara terbaik membalas utang budi kita. Tak semua orang memiliki peruntungan yang sama. Beberapa pulang kampung dan bingung mau mengerjakan apa karena keahlian baru mereka dari negeri seberang belum begitu bisa dimanfaatkan di kampung halaman mereka.

Saya membayangkan seorang Sehat Sutardja (bersama saudaranya, Pantas Sutarja) yang sukses membangun pabrik cip/semikonduktor di California, Marvell Technology Group.

Baca juga: India dan China akan Gantikan Posisi Silicon Valley?

What if….nah di sinilah saya kepo, apa yang akan terjadi bila tahun-tahun itu mereka berdua langsung pulang ke Indonesia dan membangun pabrik semikonduktor di Jakarta atau Surabaya misalnya.

Tak ada yang tahu persis kemana atau seperti apa nasib akan membawa mereka berpetualang.

Tetapi yang saya sudah pasti tahu, industri semikonduktor belum siap dibangun di Indonesia pada waktu itu, bukan karena soal teknologinya, tetapi karena lingkungannya belum mendukung: pasar dalam negeri belum siap menyerap output-nya, perlu skala ekonomi yang logis untuk itu.

SDM-nya pun belum banyak yang mengerti teknologi dan proses fabrikasi semikonduktor.

Dana – darimana dapat dana untuk memulai bangun pabrik bila perbankan belum bisa menemukan logika bisnis serta kontinyuitas usaha pabrik semikonduktor dalam proposal pengajuan kreditnya waktu itu?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com