Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Industri 4.0 dan Pekerjaan Masa Depan

Kompas.com - 15/06/2019, 13:06 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita ,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com -  Pada revolusi industri generasi 4.0, disruptif teknologi hadir begitu cepat dan ditakutkan mengancam keberadaan perusahaan-perusahaan yang telah lama berjaya beserta tenaga kerjanya.

Sejarah mencatat bahwa revolusi industri telah banyak menelan korban dengan matinya perusahaan-perusahaan raksasa. Para pengusaha dituntut lihai dalam memanfaatkan kecanggihan teknologi seperti internet of things (IOT) dan robotik. 

Secara tak langsung, kehadiran teknologi akan menggantikan peran manusia. Jika sebelumnya pengemasan atau pendataan dilakukan secara manual, kini mengandalkan mesin otomatis. Hal ini tentunya akan menggeser kebutuhan dunia kerja akan sumber daya manusia.

Namun, menurut Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, keberadaan industri 4.0 tak lantas memangkas lapangan kerja bagi manusia.

Hanya saja, ada pergeseran kebutuhan pekerjaan di masa depan. Dalam hal ini, manusia sedianya menyesuaikan dengan kebutuhan kompetensi tersebut.

"Kita mulai melihat dengan digitalisasi ini, dengan industri 4.0, malah menciptakan peluang lapangan kerja menjadi lebih inklusif," kata Bambang dalam wawancara dengan Kompas.com, Kamis (13/6/2019).

Bambang mengatakan, saat ini ada sejumlah pekerjaan yang sebenarnya butuh banyak tenaga manusia, namun peminatnya masih kurang. Pun, SDM yang memiliki kemampuan yang sesuai permintaan pemberi kerja pun tidak terlalu banyak.

Ia mencontohkan profesi industri kreatif seperti fotografi dan makeup artist. Permintaan atas kedua profesi itu saat ini sedang tinggi. Tapi memang tak sembarang orang yang bisa mendalaminya. Butuh skill dan kreatifitas untuk menjadi unik dibandingkan rekan seprofesinya.

Selain itu, bidang yang banyak membutuhkan tenaga kerja di masa depan adalah yang berkaitan dengan informasi dan teknologi.

"Di Filipina dan India, bisnis yang berkembang besar adalah bisnis yang dikerjakan dari rumah secara online. Satu, call center, dan juga data processing," kata Bambang.

Profesi call center membuat pekerjanya tak perlu bekerja di belakang meja untuk melayani pelanggan. Asalkanndi rumahnya tersedia jaringan telepon, internet, dan komputer. Perusahaan outsourcing pun kini sudah berkembang.

Bahkan, kata Bambang, di Amerika, ada rumah sakit yang mengirim data pasien secara harian ke Filipina untuk di proses. Pekerjaa yang berada di Filipina akan merapikan data tersebut dan mengirim laginke rumahnsakit di Amerika dalam sebuah database.

Pekerjaan seperti itu tak memerlukan kehadiran fisik dan kesempurnaan tampilan, hanya bermodal teknologi digital. Bahkan, pekerjaan seperti ini memungkinkan menyerap kaum disabilitas lebih banyak lagi.

"Jenis pekerjaan seperti ini di masa depan yang akan semakin banyak. Kalau sekadar mengerjakan dindepan komputer, kan orang disabilitas bisa kerjakan. Tidak perlu berangkat ke kantor, keluar ongkos lagi," kata Bambang.

"Hal sperti itu yang mau kita dorong agar Indonesia mendiversifikasi jenis pekerjaan," lanjut dia.

Dengan berkembangnya digital, salah satu yang terdampak adalah industri perbankan. Bank merasa tak perlu lagi menaambah cabang karena sudah ada internet banking. Jumlah teller pun berkurang karena transaksisl bisa dilakukaan secara online.

 

Mematikan Karier?

Lantas, apakah hal ini justru mematikan karir manusia? Bambang menjawab, tidak.

SDM harus menyesuaikan dengan kebutuhan pekerjaan di masa depan. Jumlah call center diprediksi semakin banyak, sehingga teller bank tersebut bisa mengambil kursus bahasa sebentar lalu menjadi call center. Atau mengambil kursus bidang lain yang berkaitan dengan komputer sehingga skillnya bertambah.

Bambang mengatakan, pihaknya ingin muncul kesadaran di masyarakat untuk mengerti apa yang dibutuhkan industri 4.0.

"Sehingga lapangan kerja jadi lebih inklusif, memberikan kesempatan setiap orang untuk menciptakan skill atau reskilling, atau upskilling, atau ditingkatkan kualitasnya," kata Bambang.

Maka dari itu, pemerintah terus menggenjot pendidikan vokasi dan pelatihan keterampilan bagi lulusan sekolah menengah maupun universitas agar siap kerja. Sebab, untuk lulusan vokasi, sebenarnya posisi yang tersedia banyak. Hanya saja, peminatnya tidak banyak dan orang yang memiliki kemampuan tersebut masih langka.

Meski lulusan vokasi banyak, tapi keahlian yang dicari perusahaan tidak sesuai, mereka tak berani melamar. Bambang mengatakan, perusahaan yang logis tentu akan merekrut warga negara sendiri karena lebih murah. Tapi, mereka kesulitan mempekerjakaan ahli dari Indonesia di bidang tertentu denfan kualifikasi yang diinginkan.

Hasilnya, perusahaan memilih mempekerjakan orang asing yang punya kemampuan yang dibutuhkan mereka, ketimbang mencari ahli di Indonesia dengan harga yang lebih mahal.

"Kalau kamu ahli bidang tertentu yamg sangat jarang di Indonesia, kamu kayak pemain bola nanti dibajaka ini itu. Pasti minta naik gaji terus makanya terlalu mahal. Maka cari suplai dari asing," kata Bambang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com