Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohamad Burhanudin
Pemerhati Kebijakan Lingkungan

Penulis lepas; Environmental Specialist Yayasan KEHATI

Mengapa Indonesia Tertinggal dari Vietnam?

Kompas.com - 25/06/2019, 09:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BELUM lama ini, sejumlah media nasional dan internasional mengangkat berita tentang sejumlah negara yang justru mendapat berkah dari perang dagang Amerika Serikat vs Cina. Salah satu negara yang paling mendapatkan keuntungan terbesar adalah Vietnam. Publik domestik pun bertanya-tanya, bagaimana dengan Indonesia? Mengapa kalah dari Vietnam? 

Sesungguhnya munculnya Vietnam sebagai penerima berkah utama perang dagang bukanlah hal yang mengejutkan. Jauh sebelum perang dagang memanas, UNCTADstat pada April 2018 lalu mencatat, Vietnam merupakan negara dengan indeks pertumbuhan ekspor produk manufaktur tertinggi di dunia.

Tak tanggung-tanggung, indeksnya menunjukkan angka 2.051. Mengungguli India yang disebut-sebut sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan industri manufaktur terbesar di dunia, terutama mengingat besarnya ketersediaan jumlah tenaga kerja dan kemajuan pendidikan vokasi di negara tersebut. India tercatat berada pada indeks 798. 

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Indeks industri manufaktur kita hanya 183. Angka tersebut, bahkan, lebih rendah dibanding Kenya dan Bangladesh, dua negara berkembang yang kondisi politiknya kerap labil.

Pada tahun 2018, World Economic Forum (WEF) mencatat, kecuali indikator kemudahan menjalankan bisnis (ease of doing business), dari sembilan indikator ranking daya saing investasi—yaitu, daya saing bisnis, dinamisme bisnis, kelembagaan, stabilitas makroekonomi, tenaga kerja, pasar produk, sistem keuangan, korupsi, dan kemudahan menjalankan bisnis—Indonesia pada umumnya unggul dibanding Vietnam dalam daya saing. 

Bahkan, ketertinggalan Indonesia pada indikator kemudahan menjalankan bisnis pun sesungguhnya tidak telak amat, di mana Indonesia pada peringkat 72, sementara Vietnam 68. 

Namun, ranking tersebut tak termanifestasi dalam capaian pertumbuhan industri manufaktur berbasis ekspor kedua negara. Nilai ekspor produk manufaktur Vietnam pun mencapai 276 miliar dolar AS pada 2017, mengungguli Indonesia yang volumenya pada tahun yang sama hanya sekitar 123 miliar dolar. 

Vietnam muncul sebagai pemimpin dalam industri manufaktur berbiaya rendah (low-cost manufacture) di Asia Tenggara. Pada 2017, Vietnam adalah negara di kawasan tersebut yang menjadi pemasok produk manufaktur terbesar ke AS dan Cina, dua negara pasar utama dunia, dengan nilai ekspor bersih masing-masing 50,3 miliar dolar dan 48,43 miliar dolar. 

Kesuksesan Vietnam salah satunya tak terlepas dari aliran ke luar investasi sektor manufaktur padat karya dari Cina sejak awal dekade ini. Dalam buku “The Economic Choices, Facing the Next President” (Transformasi, 2014), pakar ekonomi dari Boston University, Prof Gustav Papanek menyebut, setiap tahun Cina mampu mengekspor produk manufaktur padat karya senilai 1.500 miliar dolar ke seluruh dunia.

Namun, berbagai persoalan, terutama ongkos produksi di negara tersebut yang kian mahal, dan bergeraknya fokus Cina ke industri padat teknologi, membuat investasi senilai ratusan miliar dolar dari Negeri Tirai Bambu berangsur beralih ke negara lain yang lebih kompetitif dan cocok untuk pengembangan manufaktur padat karya, terutama India, Bangladesh, Thailand, dan tentu saja Vietnam. 

Nike, misalnya. Pada 2010, Vietnam menjadi pemasok utama alas kaki bermerek Nike, menyumbang 37 persen dari produksi, sementara Cina tetap berada di posisi kedua dengan 34 persen. Pada tahun 2018, Vietnam telah tumbuh menjadi 47 persen, sementara Cina turun menjadi hanya 26 persen.

Perang dagang dan enam keunggulan

Perang dagang AS-Cina menambah energi baru relokasi produksi ke Negeri Paman Ho. Perang tarif impor antara AS dan Cina otomatis membuat biaya perdagangan antara kedua negara menjadi lebih tinggi, sehingga para pemasok di negara-negara lain menjadi lebih kompetitif dibandingkan perusahaan-perusahaan AS dan Cina.

Pemerintah AS telah mengenakan tarif impor sebesar 25 persen atas sebagian barang impor dari Cina, senilai seluruhnya 250 miliar dolar, dan mengancam akan memperluas tarif impor itu ke barang-barang lain sampai senilai 325 miliar dolar. Sebagai langkah balasan, Beijing mengenakan tarif impor atas sebagian barang dari AS senilai seluruhnya 110 miliar dolar.

Tak heran, para pengamat mulai menyebut-nyebut Vietnam sebagai "Cina berikutnya". Jalan menuju Cina untuk produk manufaktur padat karya dianggap sudah mulai usang pada saat ini. Pertanyaannya, lagi-lagi, mengapa pilihan utamanya ke Vietnam, bukan negara ASEAN lain, Indonesia misalnya. 

Setidaknya, ada enam faktor utama keunggulan Vietnam dalam hal ini. Pertama, ketersediaan manufaktur untuk beragam jenis produk yang dibutuhkan pelaku industri padat karya, beserta infrastruktur kawasan industri penunjang. Dibanding Cina, Vietnam memang masih tertinggal jauh dalam keragaman produk manufaktur yang dihasilkan. Misalnya, pasokan kantong plastik yang tercatat di Alibaba, Vietnam hanya tersedia 485 produsen potensial, sedangkan Cina 3.850.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com