Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang P Jatmiko
Editor

Penikmat isu-isu ekonomi

Garuda Indonesia, Nama Besar dan Kepentingan-kepentingan di Baliknya

Kompas.com - 04/07/2019, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dibilang Prabowo salah, ya memang salah. Namun sebagai korporasi yang memang punya brand kuat dan mewakili pemerintah, ya itu akhirnya menjadi risiko yang dihadapi Garuda Indonesia.

Baca juga: Dirut Garuda: Saya Rangkap Jabatan demi Selamatkan Aset Negara

Karena nama besar yang disandang itu pula, Garuda pun kerap menjadi sasaran populisme kebijakan. Masih ingat ramai-ramai isu harga tiket pesawat mahal?

Ya, hampir semua maskapai menaikkan harga tiketnya. Lion Air, Batik, Sriwijaya Air, Citilink, hingga Garuda. AirAsia yang sebelumnya nggak mau ikut-ikutan, pada akhirnya juga menaikkan harga tiketnya.

Netizen teriak-teriak. Kelas menengah yang biasanya liburan naik pesawat, banyak yang mengurungkan niatnya. Kementerian Perhubungan akhirnya disorot.

Kewalahan dengan tekanan publik, Menhub ganti menekan maskapai. Siapa lagi kalau bukan Garuda. Harapannya, agar maskapai ini mau menurunkan harga tiketnya. Meskipun pada saat yang sama maskapai lain harga tiketnya juga naik, Garuda yang dipilih sebagai sasaran tembak.

Tentu tak hanya dua isu tersebut. Isu-isu lainnya pun juga kerap mengunggangi Garuda agar bisa meraih atensi publik. Karena ya itu tadi, Garuda Indonesia punya brand yang menonjol.

Dirundung Banyak Isu

Dan, belakangan ini Garuda Indonesia tengah dirundung banyak isu. Mulai laporan keuangan, duopoli pasar penerbangan, hingga rangkap jabatan yang dilakukan Dirut Garuda Ari Askhara.

Terkait laporan keuangan, memang ada beberapa versi yang menjadi acuan, yakni apakah piutang bisa masuk sebagai pendapatan ataukah tidak. Masing-masing memiliki argumennya.

Di akhir cerita, Garuda didenda oleh otoritas terkait, kendati maskapai itu telah memperoleh komitmen pembayaran sebesar 30 juta dollar AS dari Mahata Aero dan mitranya.

Isu duopoli juga menyeruak karena Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencium ada penguasaan pasar penerbangan domestik oleh dua grup besar: Garuda Indonesia dan Lion Air. Padahal, duopoli tersebut terjadi secara alami dan hanya dua grup besar itu yang modalnya memungkinkan untuk melayani pasar domestik.

Isu lain yang juga menerpa maskapai ini adalah rangkap jabatan oleh dirut. Rangkap jabatan yang dimaksud adalah menjadi komisaris utama Citilink dan Sriwijaya Air.

Baca juga: Dirut Garuda: Rangkap Jabatan Sesuai Aturan

 

Meski dari Kementerian BUMN mengklarifikasi tidak ada yang dilanggar karena segmen pasar yang berbeda, Ari Askhara akhirnya pilih melepas posisinya sebagai komisaris di Sriwijaya Air.

Bagi korporasi lain, isu-isu ini kerap terjadi. Namun hal itu menjadi ramai ketika terjadi di Garuda. Karena ya itu tadi, Garuda punya nama besar yang secara tak langsung mewakili pemerintah.

Ada yang diuntungkan?

Punya nama besar memang punya konsekuensi yang berbeda-beda. Selain menguntungkan, ada sisi-sisi yang membuat sebuah korporasi berada di posisi vulnerable karena mewakili entitas lain yang ada di luarnya. Dan, Garuda Indonesia berada di posisi ini.

Saya tak membela siapa-siapa. Toh, kalaupun sudah dinyatakan bersalah oleh otoritas terkait, ya memang seperti itu aturan mainnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com