Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Pemerintah Dipusingkan dengan Pajak Perusahaan Digital

Kompas.com - 08/07/2019, 15:40 WIB
Akhdi Martin Pratama,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

Sumber

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia dipusingkan dalam memajaki sejumlah perusahaan digital seperti Google, Facebook, Amazon, Netflix dan lainnya. Namun, hal ini tak hanya terjadi di Indonesia.

Mengutip artikel yang ditayangkan Kompas.id pada Senin (8/7/2019), mayoritas negara berharap ada mekanisme baru agar perusahaan berbasis teknologi membayar pajak lebih proporsional.

“Pertumbuhan (pendapatan perusahaan teknologi) terus berlipat, tetapi kita tidak merasakannya, baik dalam pertumbuhan domestik bruto (PDB) maupun pendapatan pajak,” kata Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati dalam pertemuan para pejabat keuangan dan moneter G-20 di Fukuoka, Jepang, Sabtu (8/6/2019).

Sejumlah perusahaan bahkan disebut menyiasati pajak selama bertahun-tahun. Mereka membuka kantor di banyak negara dan mengirimkan pendapatannya ke beberapa negara suaka pajak.

Cara itu membuat mereka membayar pajak amat rendah di negara-negara tempat mereka beroperasi dan meraup keuntungan besar.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah berupaya dengan memaksa mereka memiliki badan hukum di Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Badan Usaha Tetap (BUT).

Ketentuan itu mewajibkan semua unit usaha asing yang beroperasi di Indonesia mendaftar untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak (NPWP). NPWP mempertegas bentuk usaha tetap sebagai subyek pajak luar negeri.

Akan tetapi, ketentuan itu dinilai belum efektif karena merujuk aturan perpajakan konvensional. Sementara, model bisnis perusahaan digital beroperasi lintas negara dan tidak mengenal yurisdiksi fisik.

Selain itu, sistem pajak internasional yang jadi ”aturan main” pemajakan masih bertumpu pada status BUT dengan mengandalkan kehadiran fisik.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, konsekuensi penyusunan aturan baru butuh waktu lama dan lobi-lobi politik yang tidak mudah.

Oleh karena itu, pada tahap awal pemerintah dapat menerapkan skema PPN berdasarkan konsumsi konsumen.

Skema ini tidak memerlukan revisi undang-undang dan cukup dengan peraturan menteri.

Skema PPN menyasar transaksi business to business (B2B) bernilai besar. PPN bisa dipungut terhadap layanan digital berbayar atau berlangganan yang dibebankan ke konsumen.

Meski demikian, skema PPN memiliki kelemahan karena tidak bisa dikenakan untuk transaksi business to customer (B2C) seperti yang ditawarkan Google dan Facebook.

Sejauh ini belum ada konsensus global untuk memajaki perusahaan penyedia layanan gratis lintas negara. Namun, konsensus global diharapkan mulai bisa dilaksanakan tahun depan.

Halaman:
Sumber
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com