KOMPAS.com - Kementerian Pertanian (Kementan) dan Pemerintah Daerah (Dinas Pertanian Provinsi, Kabupaten/Kota) melakukan beberapa langkah operasional untuk mengatasi musim kemarau tahun ini.
Pertama, merencanakan jadwal tanam dan pemilihan komoditas tanaman yang tahan kekeringan.
Seperti tanaman jagung serta ubi kayu di bulan Agustus dan September karena merupakan puncak bulan kekeringan.
Kedua, pengaturan dan penjadwalan buka tutup pintu-pintu air di waduk atau bendungan dengan memanfaatkan informasi tinggi muka air (TMA) yang ada di aplikasi Si-Perditan.
Ketiga, optimalisasi penggunaan pompa-pompa air pada sumber-sumber air seperti dam-parit atau sumur dangkal dan dalam oleh Brigade Tanam.
Keempat, penerapan sistem pembibitan kering dan dapog (tray) serta pengolahan tanah awal.
Langkah tersebut dilakukan agar ketika hujan turun, bibit dapat langsung ditanam karena adanya kemunduran awal musim hujan selama 1-2 bulan, yakni bulan Oktober dan November.
"Melalui upaya-upaya tersebut kegagalan panen akibat kekeringan dapat diminimalisasi kerugiannya," papar Kepala Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementan Ketut Karyasa melalui rilis tertulis, Senin (8/7/2019).
Sebagai informasi, musim kemarau tahun ini diperkirakan lebih lama dibandingkan tahun-tahun sebelumnya sehingga meningkatkan risiko kekeringan, kebakaran lahan, serta kegagalan panen.
Hal ini ditandai dengan majunya awal musim kemarau pada bulan April di beberapa daerah di Indonesia.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memantau, terdapat beberapa wilayah yang telah memasuki musim kemarau.
Beberapa di antaranya Aceh (pesisir utara dan timur), Sumatera Utara bagian utara, Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, NTB, dan NTT.
Kemudian Kalimantan bagian tenggara, pesisir barat Sulawesi Selatan, pesisir utara Sulawesi Utara, pesisir dalam perairan Sulawesi Tengah, sebagian Maluku dan Papua bagian selatan.
Baca juga: Atasi Musim Kemarau, Kementan Terjunkan Tim Penanganan Kekeringan
Kejadian perubahan iklim global saat ini menunjukkan kondisi El-Nino Lemah, yang mana anomali SST di wilayah Samudera Pasifik dan Hindia lebih positif dan membawa udara hangat ke wilayah Indonesia.
BMKG memperkirakan kondisi tersebut akan berlangsung setidaknya hingga Januari 2020.