Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Dinilai Perlu Genjot Sumber Pendapatan Pajak

Kompas.com - 10/07/2019, 16:05 WIB
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Berly Martawardaya mengatakan, keuangan negara saat ini dalam kondisi normal. Penerimaan negara dari berbagai sektor terus mengalir.

Namun demikian, pemerintah dipandang perlu lebih menggali dan memperluas sumber pendapatan negara. Selain meningkatkan rasio pajak, pemerintah juga perlu menggali sumber-sumber cukai yang belum digarap selama ini.

“Yang perlu diperbaiki adalah pendapatan negara di bidang pajak. Target pajak kita selama ini belum tercapai 100 persen. Selain itu tax ratio pajak kita juga masih rendah, baru pada angka 10-12 persen dari GDP kita," kata Berly dalam keterangannya, Rabu (10/7/2019).

Ia memberi contoh adalah Thailand yang rasio pajaknya sudah mencapai 17 persen. Oleh sebab itu, sudah saatnya rasio pajak Indonesia dinaikkan.

Baca juga: Mengejar Pajak Digital...

Selain pajak, Berly juga menyoroti cukai. Target penerimaan cukai, menurut Berly, sudah terpenuhi secara baik.

Oleh karena itu, sektor cukai yang sudah memenuhi kewajibannya secara baik, tahun 2019 ini tidak perlu diutak-atik. Yang perlu digali di sektor cukai adalah potensi cukai yang ada di luar negeri tapi di dalam negeri belum dikenakan cukai.

Salah satunya adalah cukai minuman bersoda maupun minuman yang mengandung kadar gula yang sangat tinggi.

“Di luar negeri, jenis minuman lainnya yang mengandung kadar gula tinggi yang dapat menimbulkan penyakit dalam jangka panjang sehingga membutuhkan biaya perawatan kesehatan pada masyarakat yang mengkonsumsinya dikenakan cukai yang cukup tinggi. Karena itu, sudah saatnya pemerintah Indonesia menerapkan cukai bagi produksi minuman minuman yang mengandung zat-zat yang membahayakan kesehatan tubuh,” sebut dia.

Baca juga: Jokowi Mau Pangkas Pajak Besar-Besaran, Penerimaan Negara Tergerus?

Selain itu, pemerintah juga perlu menerapkan cukai bagi plastik dan industri plastik. Alasannya, plastik jangka pendek dan jangka panjang menimbulkan pencemaran lingkungan.

Maka dari itu, untuk mengurangi penggunaan plastik, pemerintah perlu menerapkan cukai plastik. Penerapan biaya atas penggunaan plastik bukan hanya dilakukan oleh pengusaha atau pengelola pasar swalayan dan sejenisnya kepada masyarakat sebagai konsumen, tapi harus dilakukan langsung oleh pemerintah.

Selain memberikan pemasukan yang besar bagi negara, juga akan membuat masyarakat meminimalisir penggunaan plastik.

Adapun Ketua Bidang Ekonomi Pengurus Pusat GP Ansor Sumantri Suwarno menuturkan, jika pemerintah jeli, masih banyak sumber sumber pendapatan negara yang belum digali dan dimanfaatkan oleh pemerintah menjadi sumber pendapatan negara yang dapat menutupi atau mengurangi defisit anggaran negara.

Baca juga: Penerimaan Pajak 2019 Diprediksi Cuma 92 Persen dari Target APBN

“Di negara negara lain, plastik sudah mulai dikenakan cukai. Karena itu sudah saatnya pemerintah menerapkan cukai bagi industri maupun pemakaian plastik di Tanah Air. Pemerintah memang perlu lebih kreatif dalam menggali potensi pendapatan negara di bidang cukai," tutur Sumantri.

Ia menyoroti pula pemerintah yang banyak berkutat pada penarikan cukai di industri rokok atau tembakau. Sementara cukai di produk atau industri lainnya masih diabaikan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

Whats New
Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com