Dari Didi Kempot, kita perlu sedikit menyinggung kabar yang muncul di Depok. Para netizen yang tinggal di selatan Jakarta ini, beberapa waktu belakangan ramai berkomentar terkait rencana Pemkot Depok yang menerapkan Joyfull Traffic Management. Caranya, yakni memutar lagu yang dinyanyikan Wali Kota M Idris di berbagai perempatan lampu merah lantas di kota ini.
Mendengar rencana itu, netizen bereaksi. Mereka berpendapat bahwa Pemkot Depok menempuh langkah yang ngawur.
Kota yang kini sedang menghadapi masalah kemacetan lalu lintas parah serta tata ruang yang amburadul, wali kotanya justru menggagas kebijakan yang jauh dari substansi masalah.
Baca: Wali Kota Depok: Kalau Warga Tak Senang Ada Lagu di Lampu Merah, Ya Kami Cabut...
Mereka yang menolak, sedikit-demi sedikit mulai bersuara. Alih-alih menyalurkan aspirasinya lewat DPRD, publik lebih senang menyampaikan pendapatnya lewat medsos.
Berbagai postingan dibuat oleh netizen. Mulai hanya dari sekedar status, hingga meme dibuat sebagai respons atas kebijakan tersebut.
Satu-dua postingan, lama-lama diikuti oleh postingan netizen lainnya hingga muncul mobilisasi opini di media sosial. Mobilisasi yang bergaung menjadi sebuah gerakan besar yang isinya menolak pemasangan lagu di setiap perempatan lampu merah.
Ramainya penolakan netizen kemudian membuat Pemkot Depot berpikir ulang untuk meneruskan kebijakannya itu.
Inilah era ekonomi baru. Era di mana model bisnis secara signifikan berubah dari model sebelumnya. Yang membuat para pelaku bisnis kadang terkaget-kaget dan bahkan kebingungan melihat perubahan radikal yang ada.
Mengutip Rhenald Kasali, inilah era Mobilisasi dan Orkestrasi (MO).
Di ranah marketing, kita bisa melihat bagaimana aksi mobilisasi mulai menggantikan model marketing konvensional sebagaimana yang selama ini dilakukan.
Jika sebelumnya konten komersial dibuat oleh korporasi maupun institusi lainnya dengan melibatkan agensi iklan dan didistribusikan lewat media konvensional, kini berganti dengan konten-konten yang dibuat oleh netizen sendiri dan didistribusikan lewat media sosial. Entah berupa review produk, meme, dan berbagai konten lain yang lebih punya proximity terhadap audience.
Berangkat dari satu-dua kali postingan yang menarik berikut tagarnya, kemudian disambar oleh netizen lain. Mereka menambahi komentar dan penilaian. Semakin lama obrolan semakin membesar dan akhirnya bisa menjadi viral dan mampu memobilisasi warnaget untuk melakukan tindakan tertentu.
Tulisan Lorem Ipsum yang berujung pada ramainya netizen membeli harian Kompas hari itu, serta riuhnya komunitas sad boys dan sad girls yang bermuara pada berkibarnya nama Didi Kempot di kalangan milenial adalah beberapa contoh bagaimana mobilisasi mampu membawa dampak positif bagi pihak tertentu. Dan itu dilakukan tanpa melalui metode marketing konvensional.
Di luar itu, ada pula mobilisasi yang memang dilakukan untuk merespons negatif atas sejumlah isu. Polanya juga sama, berawal dari konten yang dibuat oleh netizen sendiri yang kemudian menjadi viral hingga memunculkan kegeraman pada pihak tertentu. Penolakan atas rencana pemutaran lagu di lampu merah di Depok adalah contohnya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.