Selain itu, Australia juga memiliki sistem enterprise agreement atau perjanjian perusahaan yang mirip dengan mekanisme perjanjian kerja bersama di Indonesia.
Ini semua diatur lewat panduan yang dikeluarkan oleh Fair Work Commission (Komisi Kesetaraan Kerja), sebuah lembaga independen yang menjembatani kepentingan pekerja dan pemberi kerja, dan memiliki peranan sentral dalam melindungi hak-hak pekerja.
Ketiadaan standar yang spesifik dan otoritas yang dapat diandalkan inilah yang membuat praktik ketenagakerjaan di Indonesia masih jauh dari ideal.
Selain itu, pandangan masyarakat bahwa mempersoalkan gaji bertentangan dengan nilai-nilai bersyukur, nrimo, dan empati terhadap sekitar, menurut kami, juga menjadi tantangan tercapainya keadilan dan kesetaraan antara pekerja dan pemberi kerja.
Tidak heran, banyak praktik ketenagakerjaan yang masih jauh dari ideal, misalnya saja soal status kepegawaian yang rentan manipulasi, gaji tidak dibayar, hingga fakta bahwa pekerja Indonesia hanya digaji 12 kali dalam setahun sementara di negara maju sekurangnya 13 hingga 26 kali (mekanisme gaji dua mingguan).
Ketiadaan standar ini, menurut kami, diperparah dengan kuatnya roh neoliberalisme dalam iklim ketenagakerjaan kita yang menekankan pada kemampuan individu untuk "bersaing" lewat mekanisme pasar yang minim intervensi pemerintah.
Keberadaan standar yang berkekuatan hukum tentu tidak diperlukan jika mekanisme pasarlah yang menentukan segalanya.
Tak sedikit pengguna media sosial dan juga pakar yang berkomentar bahwa gaji lebih erat kaitannya dengan keahlian yang dimiliki pekerja.
Dari penelusuran kami, kata kunci yang banyak disebut adalah "skill" (kemampuan), "kompetensi", "kapasitas", dan "kontribusi untuk perusahaan".
Hal ini seirama dengan konsep pendidikan yang memperlakukan perguruan tinggi layaknya mesin pencetak robot yang memiliki kemahiran dan daya saing yang tinggi untuk melayani kepentingan bisnis, tetapi tidak punya sifat-sifat humanis dan tidak peka terhadap isu ketidakadilan di tempat kerja dan kesenjangan sosial di masyarakat.
Pendidikan neoliberal sangat menjunjung tinggi kompetisi antarindividu dan meminggirkan solidaritas sosial dan empati–karakter sosial yang justru masih tinggi di masyarakat negara-negara dunia ketiga.
Ini diperburuk pula oleh logika human capital (modal manusia) perusahaan yang membedakan antara pekerja unggul dan tidak unggul hanya dalam meraih laba dan cenderung mengabaikan kesejahteraan pekerja.
Konsep ini menegaskan bahwa besaran gaji pekerja merupakan tanggung jawab individu, agar mereka bisa menunjukkan "kualitas" dirinya.
Sementara, di antara para pakar yang bersuara di media arus utama belum ada yang mengungkit persoalan ketiadaan standar penggajian nasional selain lewat upah minimum kabupaten/kota dan upah minimum provinsi.
Menurut kami, yang pertama perlu dilakukan adalah membentuk otoritas independen yang menyusun standar gaji nasional yang spesifik, sekaligus menjadi mediator antara pihak pekerja dan pemberi kerja di Indonesia.