Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perang Dagang AS-China Kian Panas, Ini Saran untuk Investor

Kompas.com - 07/08/2019, 16:50 WIB
Mutia Fauzia,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Perang dagang antara China dan Amerika Serikat telah memasuki fase baru.

Terakhir, bank sentral China People's Bank of China (PBoC) memutuskan untuk membiarkan nilai tukarnya melemah terhadap dollar AS. Pemerintah AS kemudian menuding China sebagai manipulator nilai tukar dan melaporkan secara resmi ke Dana Moneter Internasional (IMF).

Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menyarankan agar para investor mengambil sikap defensif dalam menyikapi memburuknya perseteruan AS dan China.

Hal tersebut memengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah yang cenderung melemah terhadap dollar AS.

Baca juga: Rupiah Rentan Terpengaruh Faktor Global, BI Imbau Investor Tak Panik

"Risiko pelemahan dan peningkatan volatilitas nilai tukar rupiah menurunkan keleluasaan BI memangkas suku bunga untuk memacu pertumbuhan ekonomi lebih gegas namun tanpa memicu defisit neraca berjalan. Jadi sebaiknya investor menyikapi perkembangan saat ini secara defensif," ujar dia dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (7/8/2019).

Budi mengatakan, investor sebaiknya berinvestasi pada aset-aset yang lebih aman dari volatilitas dan rendah risiko. Ia memberi contoh antara lain reksa dana pasa uang dan surat berharga negara (SBN).

Dia menjelaskan, eskalasi konflik kedua negara besar itu mengakibatkan selama dua hari berturut-turut.

Baca juga: BI: Ketegangan Perang Dagang China-AS Kian Tekan Ekonomi Dunia

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 2,59 persen dan 0,91 persen pada level 6119,47. Begitu pun kurs tengah Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) rupiah melemah hampir 1 persen dari 14.203 pada akhir pekan (2/8/2019) menjadi 14.344 pada Selasa, (6/8/2019) kemarin.

"Sementara, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun sempat naik ke level 7,7291 persen," jelas Budi.

Budi menduga keputusan China melemahkan mata uangnya sesungguhnya beralasan mengingat surplus neraca berjalan mereka terus menipis.

Namun, langkah China tersebut lebih cepat dari yang seharusnya. Pasalnya, langkah bank sentral China untuk mendepresiasi nilai tukar ditempuh bersamaan dengan penundaan pembelian komoditas pertanian dari AS.

"Aksi China itu nampak sekali sebagai balasan pernyataan Presiden Trump yang mengancam akan kembali mengenakan tarif impor mulai bulan September," ujar Budi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com