Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wapres Kalla Sindir Listrik Panas Bumi Lamban, Ini Kata Dirut Geo Dipa

Kompas.com - 18/08/2019, 17:11 WIB
Aprillia Ika,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wapres Jusuf Kalla menyindir lambatnya perkembangan listrik panas bumi atau geotermal pada pidatonya saat membuka konferensi internasional pengembangan listrik geotermal di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, 13 Agustus 2019 lalu.

Jusuf Kalla menilai, pengembangan listrik berbasis panas bumi sangat lamban karena selama 35 tahun hanya sebesar 2.000 megawatt realisasinya.

Sindiran Kalla disampaikan di hadapan Pelaksana Tugas (Plt) Dirut PLN Sripeni Inten Cahyani dan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar.

Pihak PLN sendiri kemudian mengatakan jika saat ini pengembangan listrik panas bumi terkendala tingginya harga lantaran pembangunan infrastruktur pembangkit panas bumi tergolong mahal. Sementara daya beli masyarakat Indonesia berbeda dengan negara maju. Masyarakat Indonesia sendiri menyukai energi murah dalam skema subsidi.

PLN mengupayakan agar pembangunan transmisi dibiayai dulu oleh pengembang, baru kemudian direimburse oleh pemerintah. Misal di PLTA Poso.

Baca juga: Pengembangan Listrik Geotermal Lamban, Wapres: Eksekusi dan Jangan Kebanyakan Seminar

Insentif ke pengembang

Sementara dalam ringkasan eksekutif Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Kementerian ESDM "Roadmap Pengembangan Energi Panas Bumi Indonesia: Energi Hijau, Berkelanjutan, dan Berkeadilan 2019-2030" menyebutkan jika ada hal yang mengganjal pengembangan listrik panas bumi.

Yakni, Pengembang menanggung biaya infrastruktur yang sebenarnya menjadi tanggung jawab Pemerintah. Kemudian upfront-risk dan kebutuhan investasi awal yang besar.

Kemudian, beberapa lokasi potensi panas bumi berada di kawasan konservasi. Lalu daya beli masyarakat yang relatif rendah, dan ketimpangan antara kebutuhan listrik setempat dengan sumber daya energi panas bumi yang ada.

Selain itu, pengembang panas bumi di Indonesia juga menghadapi sejumlah risiko seperti risiko ketidakpastian kondisi sumber daya panas bumi. Risiko kenaikan biaya proyek. Risiko dampak sosial. Serta, risiko perubahan regulasi.

ESDM sendiri menyatakan jika diperlukan insentif khusus, yang berupa reimburse atas biaya-biaya yang seharusnya tidak ditanggung pengembang pembangkit panas bumi. Hal ini senada dengan yang diupayakan PLN.

Baca juga: Geotermal Indonesia, dari Potensi, Pemanfaatan sampai Rencana ke Depan

Feed in Tariff

Bagaimana PT Geo Dipa Energi (Persero) menanggapi sindiran Wapres Kalla, serta menanggapi roadmap ESDM dan upaya PLN?

Direktur Utama Geo Dipa Energi Riki Ibrahim mengatakan, untuk penetapan harga energi baru terbarukan (EBT) panas bumi diperlukan feed in tariff (FiT) hanya 10 tahun saja.

Penetapan itu, tidak boleh lebih dari 10 tahun dan setelah 10 tahun harus mengikuti persaingan sesuai biaya pokok penyediaan (BPP) listrik oleh PLN di lokasi pengembangan EBT panas bumi.

Menurut Riki, hal itu karena BPP PLN setempat pada saat 10 tahun mendatang itu sudah akan cukup memberikan keuntungan yang wajar kepada pengembang EBT panas bumi.

"Disamping itu, alasan ini juga mempertimbangkan masukan KPK terhadap potensi kerugian negara atas kontrak dengan FiT selama 30 tahun karena satu harga tinggi dan panjang," kata dia melalui keterangannya ke Kompas.com, Minggu (18/8/2019).

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com