Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

6 Kendala Ini Membuat Pelayanan Kesehatan di Indonesia Tak Maksimal

Kompas.com - 19/08/2019, 17:15 WIB
Fika Nurul Ulya,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Sistem pelayanan kesehatan di Indonesia masih menjadi PR yang perlu dibenahi pemerintah. Baik dari segi pemerataan, regulasi, maupun integrasi antara sistem offline dengan online.

Founder dan Chairman Center for Healthcare Policy and Reform Studies (Chapters) Indonesia Luthfi Mardiansyah menuturkan, setidaknya terdapat 6 kendala yang perlu dibenahi dan disikapi secepatnya. Adapun kendala tersebut antara lain:

1. Konektivitas

Kendala konektifitas menjadi penyebab utama sistem kesehatan digital (E-Health) di Indonesia tidak berkembang, terutama di daerah-daerah terpencil yang seharusnya butuh akses kesehatan yang sama dengan masyarakat kota.

"Konektifitas masih kendala. Satelit Palapa nantinya harus bisa menjangkau pulau di Timur. Tadi saya sampaikan, di Jakarta saja masih ada area-area blackspot di beberapa tempat," kata Founder dan Chairman Center for Healthcare Policy and Reform Studies (Chapters) Indonesia Luthfi Mardiansyah di Jakarta, Senin (19/8/2019).

Bila konektifitas sudah merata di seluruh Indonesia, maka bisa dipastikan masyarakat bisa mendapat akses kesehatan yang baik karena bisa berkonsultasi dengan dokter meski berjauhan. Pun biayanya jauh lebih murah.

2. Kejelasan Regulasi

Menurut sebuah survei dari Deloitte Indonesia, Bahar, dan Chapter, sebesar 15,6 persen pengguna masih merasa tidak puas dengan adanya layanan kesehatan digital.

Ketidakpuasaan ini terjadi karena pengguna mengkhawatirkan keamanan data yang diinput ke dalam layanan kesehatan digital tersebut. Pun belum adanya aturan tentang tata cara pengantaran obat agar tidak terkontaminasi benda lain hingga sampai kepada pasien.

Baca juga : Survei: 84,4 Persen Masyarakat Puas dengan Layanan Kesehatan Digital

"15,6 persen pengguna layanan tidak puas. Ini sesuatu yang harus kita sikapi, tidak puasnya karena apa? Pertama, data privacy-nya bagaimana? Siapa yang simpan riwayat kesehatan kita saat berobat melalui aplikasi, pemilik aplikasi atau rumah sakitnya?," ungkap Luthfi.

Selain keamanan data, yang masih menjadi masalah utama dalam perkembangan layanan digital ini antara lain, terjadinya komunikasi yang kurang baik antara dokter dengan penderita penyakit karena tidak memeriksa penyakit secara langsung. Apalagi secara pengalaman, banyak dokter yang tidak terbiasa memeriksa penyakit hanya melalui telepon.

"Dokter tidak bisa melihat ekspresi pasien tentang apa yang dirasakan hanya melalui ponsel. Dokter juga tak berpengalaman memeriksa pasien melalui aplikasi, meski saat ini pelan-pelan banyak yang sudah terbiasa. Ditambah banyak juga dokter senior yang tidak cakap menggunakan teknologi," ucap dia.

Kendala-kendala soal regulasi di atas, tentu menjadi kendala pada perkembangan e-health. Pemerintah hendaknya mengatur regulasi tersebut secara cepat mengingat pengguna layanan kesehatan digital semakin bertumbuh.

3. Bonus Demografi

Populasi Indonesia merupakan populasi ke-4 terbesar di dunia, yang banyak didominasi oleh usia muda dan masyarakat ekonomi kelas menengah. Bonus demografi ini menjadi kekuatan untuk Indonesia untuk bersaing di kancah global.

Sayangnya, bonus demografi ini tak dibarengi dengan pelayanan kesehatan yang baik. Anak muda dan masyarakat yang dianggap mampu memajukan Indonesia justru jadi tak terlindungi karena tidak ada pelayanan kesehatan yang baik.

"Itu (bonus demografi) bisa menjadi pemasalahan. Kalau hanya besar, tapi sistem kesehatan enggak mumpuni, bagaimana? Apalagi sekarang usia muda sudah banyak yang kena penyakit berat, ini akan jadi beban biaya kalau sistem kesehatannya enggak baik," pungkas dia.

4. Negara Kepulauan

Menjadi negara kepulauan, memang sangat berpengaruh besar terhadap potensi ekspor Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia. Indonesia terkenal dengan beragam SDA dan keindahan alam yang mampu menarik wisatawan berkunjung.

Di sisi lain, distribusi pangan dan distribusi kesehatan banyak terkendala karena tidak bisa ditempuh hanya dengan jalur darat.

"Apalagi secara bisnis, rumah sakit swasta tidak serta merta ingin membangun cabangnya di tempat terpencil. Akhirnya investor maunya investasi di daerah-daerah yang punya impact banyak sehingga ada disparitas di sini. Ini memang susah karena luas sekali, pemerintah pun saat ini sulit menemukan cara yang bagus bagaimana," ungkap Luthfi.

5. Pelayanan Rendah

Luthfi menilai, tingkat pelayanan rumah sakit di Indonesia relatif rendah. Ini tercermin dari kendala masyarakat dalam mendapatkan layanan kesehatan di beberapa rumah sakit.

Pasien yang menderita penyakit berat diminta menanti pelayanan hingga 1 bulan lamanya di rumah.

"Prosesnya itu sendiri masih belum membantu. Sampai hari ini masih kita lihat antrian panjang di beberapa rumah sakit. Mereka, pasien yang menderita penyakit berat, harus menunggu 1 bulan di rumah, hal-hal tersebut yang mesti kita sikapi dengan baik," ucap Luthfi.

Akibatnya, banyak masyarakat di daerah Medan yang akhirnya memilih Penang, Malaysia, untuk berobat ketimbang di Indonesia.

"Pasien kita yang lokasinya di Medan, mereka memilih nyebrang ke Penang. RS di Medan memberikan rekomendasinya ke Penang. Sebetulnya bukan karena promosi mereka lebih bagus, tapi memang pelayanan kita yang kurang," ungkap Luthfi.

6. Teknologi Tak Dimanfaatkan dengan Baik

Teknologi yang ada tak dimanfaatkan dengan baik untuk pelayanan kesehatan. Padahal, penggima internet di Indonesia paling tinggi ketimbang negara lain.

"Saya ambil contoh tentang iWatch. iWatch kita pasang di tangan kita, itu bisa mendeteksi kondisi jantung dan kondisi sistem tubuh lainnya. Tapi saat berobat, kita tidak memberitahukan kepada dokter kalau kita punya rekam manual melalui iWatch itu. Padahal kalau diberitahu, dokter bisa langsung merekomendasikan pengobatan yang lebih tepat," pungkas Luthfi.

Luthfi meyakini, bila kendala di atas bisa diatasi dengan baik, sistem pelayanan di Indonesia akan lebih merata dan terintegrasi baik offline maupun online.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com