JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam APBN 2020, pemerintah menganggarkan dana pendidikan sebesar Rp 505,8 triliun untuk pendidikan atau 20 persen dari seluruh alokasi belanja negara. Besarnya dana pendidikan tersebut salah satunya bakal disalurkan untuk program kartu pra-kerja.
Presiden Joko Widodo menyampaikan program kartu pra kerja diperlukan untuk meningkatkan akses keterampilan bagi anak-anak muda, para pencari kerja, dan mereka yang mau berganti pekerjaan.
"Di mana mereka dapat memilih jenis kursus yang diinginkan, antara lain coding, data analytics, desain grafis, akuntansi, bahasa asing, barista, agrobisnis, hingga operator alat berat," ujar Jokowi ketika memberikan pidato Nota Keuangan di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Jumat (16/8/2019).
Baca juga: Jokowi: Program Kartu Pra-Kerja Bisa untuk Kursus Coding hingga Barista
Untuk merealisasikan wacana ini, pemerintah menganggarkan belanja untuk kartu pra kerja dalam APBN 2020 sebesar Rp 10 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, target penerima kartu pra kerja pada tahun 2020 mendatang sebanyak 2 juta peserta yang juga bakal mendapatkan dana insentif dalam jangka waktu terbatas.
Peserta kartu pra-kerja ini nantinya bakal mendapatkan layanan pelatihan vokasi, baik skilling dan re-skilling, juga bakal mendapatkan sertifikasi kompetensi kerja.
Adapun Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif Dhakiri mengatakan kartu pra kerja diberikan untuk memberikan perlindungan pekerja di tengah pasa rkerja yang semakin hari kian fleksibel. Sehingga nantinya bisa dipastikan mereka memiliki kemampuan yang memadai.
"Sehingga mereka bisa kompetitif dan memungkinkan untuk kerja terus sampai pensiun," ujar Hanif.
Adapun hingga saat ini, masih belum jelas ke mana anggaran sebesar Rp 10 triliun tersebut bakal dialokasikan. Pemerintah saat ini masih dalam pembahasan mengenai desain teknis mengenai kartu pra kerja sehingga bisa memberikan output yang sesuai harapan.
Bukan menggaji penganggur
Anggapan pro-kontra pun datang dari berbagai pihak lantaran salah satu wacana dalam program kartu pra kerja ini adalah memberi insentif kepada peserta yang merupakan anak-anak muda, para pencari kerja, dan mereka yang mau berganti pekerjaan.
Beberapa orang menilai, pemberian insentif kepada beberapa golongan tersebut sama dengan menggaji pengangguran.
Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri pun membantah anggapan tersebut. Dia menjelaskan, insentif yang diberikan digunakan untuk memastikan agar angkatan kerja yang masuk dalam kategori yang telah disebutkan sebelumnya benar-benar bisa bekerja sesuai dengan kompetensinya.
"Insentif jangan ditulis gaji, nanti niat baik salah. Ini untuk memastikan agar angkatan kerja baru lulus SMA atau SMK yange nggak punya skill ketika dapat kartu kerja maka bisa ikut pelatihan vokasi sampai dapat sertifikasi kompetisi dalam waktu tertentu," ujar Hanif di Jakarta, Jumat (16/8/2019).
Baca juga: Menaker: Kartu Pra Kerja Bukan Untuk Gaji Pengangguran
Adapun nantinya, insentif diberikan setelah peserta program kartu pra kerja mengikuti pelatihan selama setidaknya dua bulan. Kemudian, peserta program bakal mendapatkan sertifikat kompetensi serta insentif dalam kurun waktu tertentu.
Hanif menjelaskan, pemberian insentif maksimal selama 3 bulan setelah selesai pelatihan.
"Ini untuk bantu cari kerja, makanya disebut insentif, jangan tulis gaji," tegas dia.
prasyarat yang bakal ditentukan agar seseorang bisa menjadi peserta program kartu pra kerja terbilang mudah, yaitu sebatas Warga Negara Indonesia yang berusia di atas 18 tahun. Pemerintah pun bakal membentuk Project Management Officer (PMO) yang mengawasi jalannya program Jokowi ini.
Selain itu, pemerintah juga bakal menggandeng platform digital untuk turut terlibat dalam program kartu pra kerja. Hal itu dilakukan karena dalam desain implementasinya, bakal dibagi menjadi dua jenis metode pengaksesan kartu, yaitu digital dan reguler yang masing-masing bakal sebanyak 1,5 juta kartu dan 5 juta kartu.
"Ini belum putus tapi sebagian besar 1,5 juta akan pakai platform digital (akses kartu pra kerja). Cuma kita akan perjelas dulu, misal, platform digital hanya untuk daftar. Kita harus lihat juga regulasinya," ujar dia.
Belum matang
Namun, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Tauhid Ahmad menilai realisasi dari program tersebut terlalu dini. Sebab, hingga saat ini pemerintah belum memiliki skema dan database untuk mendistribusikan kartu pra kerja.
"(Untuk realisasi 2020) masih terlalu dini, menurut saya bertahap. Boleh dilakukan 2020 tapi pendataan harus dilakukan terlebih dahulu," ujar dia di Jakarta, Senin (19/8/2019).
Tauhid menjelaskan, setidaknya pemerintah perlu untuk melakukan persiapan selama satu hingga dua tahun dalam proses pengumpulan data siapa mengenai ketenagakerjaan di Indonesia. Untuk itu, Badan Pusat Statistik (BPS) harus turut dilibatkan dalam proses realisasi wacana kartu pra kerja.
Baca juga: Ini Cara Pemerintah Ukur Besaran Insentif untuk Kartu Pra Kerja
"Untuk realisasi itu pemerintah harus punya database, disinkronkan, karena kalau tidak ada eligibility mengenai siapa yang berhak akan jadi pertanyaan dan jadi masalah di kemudian hari terkait pertanggungjawaban," ujar dia.
Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan kerja sama dengan pelaku industri yang memang berisiko mengalami PHK. Kemudian perlu pula dilakukan uji coba program kartu pra kerja sebelum akhirnya dilakukan konfirmasi dan validasi data.
"Karena kalau tidak akan jadi problem sosial yang meletup di kemudian hari," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.